Kekayaan Kota: Menuju Pembangunan Berdasarkan Aset di Wilayah-wilayah yang Baru Mengalami Urbanisasi

(Scroll down for the original English text)

Oleh: Prof. John Friedmann

Diterjemahkan dengan ijin penulis ke dalam Bahasa Indonesia oleh Marco Kusumawijaya, dari John Friedmann, The wealth of cities: Towards an asset-based development of newly urbanizing regions, UN-HABITAT Lecture Award Series, No. 1, United Nations Human Settlements Programme (UN-HABITAT), Nairobi, 2007. Teks ini pertama-tama disampaikan sebagai ceramah khusus pada World Urban Forum 3, Juni 2006 di Vancouver.

Dalam salah satu bukunya, urbanis Canada asal Amerika yang belum lama wafat, Jane Jacobs, seorang aikon nasional, menceritakan kisah sebuah desa bernama Napizaro yang terletak beberapa ratus mil di sebelah barat-laut Mexico City. Keluarga-keluarga di sana telah turun-temurun hidup atas dasar pertanian subsistens dengan tambahan sedikit tanaman perdagangan. Hidup mereka, tulis Jacobs, tidak terbayangkan suramnya. Tetapi, beberapa generasi yang lalu, satu faktor baru masuk ke dalam kehidupan mereka: tarikan adanya lapangan kerja di Amerika Serikat. Setelah bertahun-tahun, Napizaro akhirnya menjadi tergantung pada lapangan kerja itu untuk kesejahteraannya sekarang. Komunitas itu kini punya lampu jalan, rumah sakit, dan lapangan baru untuk menyabung kerbau yang diberi nama North Hollywood untuk mengenang daerah industri di kota Los Angeles, sumber kesejahteraan tersebut. Umumnya sekarang 1200 penduduk desa itu hidup nyaman dalam rumah berdinding tembok dengan patio yang cantik dan antena TV.

Tetapi apa yang Anda lihat di Napizaro tidaklah sepenting apa yang Anda tidak lihat. Pada tiap saat, lebih dari tiga-perempat dari kaum laki-laki berada di luar desa, bekerja di North Hollywood. Demi semua kelengkapannya, Napizaro digambarkan sebagai suatu permukiman yang menyedihkan, dengan perpisahan yang disesalkan dan ketidak-hadiran yang lama, dan kaum perempuan hidup merana kesepian. Jacobs menutup ceritanya dengan pengamatan berikut:

Setelah empat puluh tahun menerima kiriman-uang,….kiriman-uang yang digunakan dengan bertanggung-jawab, hemat dan secara koperasi, kenyataannya adalah bahwa apabila kiriman-uang itu berhenti, Napizaro akan dengan cepat kembali kepada kemiskinan suram seperti sebelum ada migrasi dan kiriman-uang. Atau, mungkin sekali penduduknya terpaksa sekosongnya meninggalkan desa itu. Sebab, meskipun ada kiriman uang dari Los Angeles dan televisi serta barang-barang impor lain yang dibelinya, kehidupan ekonomi di wilayah tersebut—cara mendapatkan penghasilan di tempat itu—tetap tidak berubah.

            Saya ingin mengangkat cerita ini, yang bagi saya terbaca seperti suatu perumpamaan, sebagai tema pembahasan saya. Hanya saja, saya tidak akan berbicara tentang desa-desa miskin di bagian-bagian terpencil dunia ini, tetapi tentang kota-kota dan wilayah sekitarnya di dalam negeri-negeri yang sedang mengalami urbanisasi cepat di belahan dunia Selatan. Argumen saya ada empat bagian. Pertama, kita tidak bisa lagi memperlakukan kota-kota terlepas dari wilayah-wilayah di sekitarnya yang bersama-sama telah saling terjalin erat. Kedua, saya bermaksud dengan kritis memeriksa konsensus kebijakan yang berlaku sekarang bahwa masa depan kota terletak terutama pada ekspornya, dan bahwa untuk mencapai ekspor itu, modal asing dengan pengetahuan pemasaran global yang tidak terbantahkan beserta teknologi mutakhir harus dundang untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan yang dibutuhkan. Ketiga, saya ingin mempertimbangkan suatu kebijakan alternatif yang berpusat pada pembangunan jangka panjang yang bersifat endogen (“dari-dalam”) dari tujuh kelompok aset wilayah yang akan membangkitkan kekayaan sejati suatu kota-wilayah. Terakhir, saya akan membuat beberapa catatan tentang peran pemerintah dalam memajukan pembangunan demikian.

Kota di dalam wilayah: Suatu hubungan organik

Kita sering berbicara tentang kota, karena kata itu mengandung suatu gagasan umum, tetapi ketika didesak untuk lebih spesifik, kita akan cepat dapatkan betapa kaburnya gagasan tentang kota itu. Bagi sebagian orang kota berarti suatu kotamadya yang memiliki batas-batas yang jelas. Bagi lainnya, kota berarti kawasan pusat kota (Central Business District, CBD), inti dari suatu kawasan metropolitan. Dan, bagaimana dengan kawasan sub-kota (suburbs), bahkan ketika mereka merupakan unit-unit dengan kepemerintahannya sendiri? Apakah mereka juga merupakan bagian dari yang kita sebut kota? Dan, jika demikian, mengapa bandar udara yang membawa nama kota pusat sering terletak di luar batas-batas sub-kota di kawasan pinggiran perkotaan? Dan, sesungguhnya di mana kota berakhir dan desa mulai? Yang terakhir ini merupakan pertanyaan yang hampir tidak mungkin dijawab dengan tepat, karena “kekotaan” adalah suatu kualitas yang menyebar keluar dari suatu pusat sampai ia bertemu dengan batas-batas luar dari pusat lain yang bersebelahan, sehingga membentuk suatu bentangan perkotaan yang menyambung.

Di masa lalu, kota dikelilingi tembok yang menandai batasnya, tetapi tembok ini telah lama lenyap, dan ruang fisik kota telah tumpah ke luar ke dalam wilayah pedesaan tanpa tanda-tanda batas yang jelas. Pasokan air perkotaan diperoleh dari daerah tangkapan air wilayah yang niscaya membuat kota itu mungkin. Saya telah menyebut bandar udara yang terletak jauh dari pusat tetapi nyata terlihat dihubungkan dengannya oleh jalur transit atau jalan tol. Beberapa dari bandar udara ini telah menarik investasi multinasional utama, membentuk apa yang disebut edge cities di atas lahan-lahan hijau. Pasokan makanan untuk kota makin banyak yang dihasilkan di wilayah sekitar dan diangkut ke pusat-pusat distribusi di dalam berbagai lokasi metropolitan. Pada akhir pekan, massa manusia keluar dari pusat kota dan sub-kota ke pinggiran regional, berharap menikmati beberapa saat santai di tempat peristirahatan pegunungan, taman-taman regional, dan di pantai-pantai.

Semua itu kita tahu dari pengamatan peribadi. Hubungan organik antara kota dan wilayah bukanlah hal baru. Tetapi kita jarang memikirkannya sebagai suatu kesatuan, terutama ketika wilayah itu sendiri terbagi-bagi menjadi kabupaten, kotamadya, atau kota administratif. Para ahli di Eropa dan Amerika Utara telah banyak menulis tentang tumbuhnya keperluan akan kepemerintahan regional, tetapi hanya sedikit hasilnya. Kota dan wilayahnya tetap terbagi-bagi dan sering bersaing satu sama lain untuk mendapatkan modal global. Pengecualian yang jelas adalah China, di mana kota-kota provinsi telah ditunjuk sebagai kota-kota “pembina” dengan kewenangan atas kabupaten-kabupaten “pedesaan” di sekitarnya, sehingga menjadi bertanggung-jawab atas pembangunan yang terkoordinasi. Kebanyakan penduduk China sekarang tinggal di dalam kota-wilayah demikian. Oleh sebab itu, dalam pembahasan saya selanjutnya hubungan organik inilah yang ada dalam benak saya ketika saya bicara tentang kota dan wilayah. Kota-wilayah adalah ungkapan simbolik untuk hubungan tersebut.      

Kota bukan bejana kosong

Bersaing atau punah, demikian kata para pandita neo-liberal. Persaingan itu tentu saja dimaksudkan bukan untuk menarik konsumen, melainkan untuk investor dari luar. Ilusi yang telah diterima luas adalah bahwa modal—sebut saja kelebihan uang—terus menerus mencari peluang untuk menumbuhkan makin banyak modal, dan akan pergi kemana saja terdapat masa depan yang paling menjanjikan untuk menanam modal. Modal global itu tidak berakar (footloose), katanya. Ia tidak setia kepada tempat, dan cakrawala harapannya pendek: investasi harus kembali hanya dalam beberapa tahun. Karena itu, untuk menarik modal tak berakar ini kota-kota harus sudi memenuhi kebutuhan pokoknya: prasarana ekonomi yang cocok, tanah murah, tenaga kerja yang patuh, dan keringanan pajak. Mengikuti nasehat ini, kota-kota mencoba membuat dirinya semenarik mungkin bagi para pelamar global tersebut. Mengubah dirinya menjadi komoditas bagi pasar modal, mereka bersaing mendapatkan perhatian dengan mem-branding citranya. Mereka mengejar tuah Olimpiade atau peristiwa olahraga dunia lainnya, dengan harapan bahwa apabila mereka berhasil memenangkan persaingan lokasi ini, mereka akan menjadi household words, seperti Coca-cola atau peralatan atlit Nike. Mereka pasrah terhadap kuasa perusahan-perusahaan global, berjanji memberikan apa saja yang dimintakan dari mereka, dari lahan perawan hingga upah rendah dan stabilitas politik.

            Sekali suatu kota berhasil membujuk investasi yang dijanjikan, para utusannya pulang disambut banyak pujian.  Tetapi, kota bukanlah sekedar bejana kosong untuk menampung investasi dari luar ke dalam kecuali kalau ia berharap mengulang nasib Napizaro, desanya Jane Jacobs itu, yang dikatakannya akan kembali ke kesengsaraan awal kalau aliran kiriman uang berhenti. Sebab, sekali modal bergerak terus ke wilayah yang lebih menjanjikan sebagaimana sering dikehendakinya, apa yang akan ditinggalkannya tidak lebih dari ruang kosong pabrik-pabrik. Kota akan kehilangan lebih dari sekedar beberapa ratus atau ribu lapangan pekerjaan.  Ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk membangun aset nyatanya sendiri, yang dengan kualitas khas-tempatannya akan selalu bersifat unik. Ia telah gagal memulai dan mempertahankan suatu pembangunan endogen—suatu pembangunan dari dalam—yang didasarkan terutama pada tabungan lokal dilengkapi dengan bantuan internasional dan kontribusi swasta. Dan, ia telah kehilangan kesempatan belajar memajukan pembangunan yang aseli dengan secara langsung terlibat di dalamnya. Sekarang saya akan membahas aset-aset ini, dan mengapa mengabaikan mereka akan melahirkan harapan palsu kepada silau kantong emas di ujung pelangi.

Kekayaan sejati: Kualitas aset-aset nyata kota

            Saya membagi aset-aset nyata kota-wilayah menjadi tujuh kelompok yang mencakup aset manusia, sosial, budaya, intelektual, alam, lingkungan, dan perkotaan. Semua aset ini pada dasarnya ada di semua kota-wilayah, di negeri kaya maupun miskin, dengan tingkatan berbeda, dan mengembangkan semua itu merupakan tugas utama pemerintah daerah.

            Kelompok aset yang berada pada urutan paling atas adalah aset manusia kota, ialah orang dan kualitas hidup dan kehidupannya.  Yang menjadi pokok di sini adalah kebutuhan dasar manusia, terutama perumahan yang layak dengan hak terjamin; kesempatan pendidikan untuk anak perempuan maupun laki-laki untuk menyiapkan mereka memasuki dunia modern; dan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik. (Ada kebutuhan dasar ke empat yang akan saya bicarakan nanti). Kepuasan atas kebutuhan material yang nyata ini membentuk fondasi bagi hak kita yang paling fundamental, ialah hak hidup. Karena itu, tujuan setiap pembangunan sejati haruslah mencapai perumahan bermutu, pendidikan, dan kesehatan untuk setiap warga-negara haruslah. Pada akhirnya, ini adalah tanggung-jawab negara. Membiarkan pemenuhannya oleh operasi buta daya-daya pasar hanya akan menciptakan ketidakadilan yang biadab, membiarkan sedikit orang yang sudah memiliki fondasi dalam bentuk aset dasar untuk mengejar kehidupan manusia yang berkembang sambil meminggirkan mayoritas yang kekurangan fondasi untuk hak azasi manusia yang paling berharga tersebut.

            Aset wilayah kedua adalah masyarakat warga yang terorganisasikan, ialah beragam kegiatan warga negara dalam mengelola diri. Tidak mungkin membuat daftar yang lengkap mencakup semua hal yang tidak terhitung jumlahnya yang diselenggarakan sendiri oleh masyarakat ketika ada kesempatan. Ada gereja, mesjid, candi, pura setempat yang didukung dan menarik kaum yang percaya. Di beberapa negara, seperti China misalnya, ada perkumpulan-perkumpulan berdasarkan marga dan garis-keturunan yang menghubungkan generasi masa kini dengan generasi yang lalu. Bagi kaum muda, ada perkumpulan atletik yang memajukan setiap jenis olahraga, sementara yang lain melibatkan diri dalam tari dan musik. Di Spanyol, saya menemukan klub gastronomi yang anggota-anggotanya senang memasak untuk sesama anggota, merayakan kebersamaan melalui makanan dan anggur. Yang lainnya bergabung dengan klub-klub yang memajukan bermacam proyek di seluruh kota mulai dari pengindahan lingkungan hingga mengunjungi rumah jompo. Hobi yang bekisar mulai dari merangkai bunga hingga mengumpulkan burung-burung dan serangga bernyanyi akan akhirnya mengumpulkan para peminat. Di beberapa negara barat, seperti misalnya Canada, juga ada perkumpulan-perkumpulan, beberapa darinya kuat, beberapa lagi tidak, yang aktif dalam politik, berupaya mempengaruhi pmerintah atas nama berbagai gerakan. Dan seterusnya.

Tetapi, kita mungkin bertanya, bagaimana caranya bentuk-bentuk perkumpulan dalam kehidupan bersama ini dapat dipelihara sebagai aset, terutama pada tingkat lokal? Di beberapa negeri, negara menganggap organisasi masyarakat warga sebagai ancaman terhadap rejim yang berkuasa. Banyak yang percaya bahwa jika organisasi-organisasi ini tidak dipantau dengan ketat, mereka berpotensi menjadi sumber masalah bagi negara. Jawabannya adalah bahwa masyarakat warga yang terorganisasi pada umumnya sangat dalam terlibat dalam kehidupan sehari-hari lingkungan dan komunitasnya. Tim sepakbola atau bola basket dari berbagai belahan kota-wilayah bermain berlawanan satu terhadap yang lainnya dan dirayakan sebagai pahlawan setempat. Perkumpulan keagamaan yang menyelenggarakan festival menghormati orang suci setempat, membangkitkan rasa memiliki yang kuat dan juga mendukung kegiatan sukarelawan di dalam komunitas. Perkumpulan perumahan membantu orang mendapatkan rumah. Balai warga membantu menerima pendatang baru ke dalam arus-utama kehidupan perkotaan. Kelompok-kelompok penekan menuntut perhatian pemerintah atas keperdulian mereka, mendesak keluarnya peraturan baru. Klub-klub kaum muda menolong orang muda, yang kalau tidak mungkin saja hilang di dalam kehidupan jalanan, menemukan dukungan di antara sebaya. Dan dengan demikian, jauh dari mendorong terjadinya kekacauan yang  menakutkan, masyarakat warga yang terorganisasi seharusnya dilihat sebagai sumber kekuatan masyarakat dan sebagai suatu aset yang layak mendapat dukungan publik. Eksistensinya menunjukkan kebhinekaan selengkapnya dari suatu kota sambil memajukan kewargaan lokal.

            Pusaka wilayah berupa lingkungan terbangun dan kekhasan serta gairah kehidupan budayanya merupakan kelompok aset ketiga. Budaya adalah rohnya masyarakat, dan bila diabaikan atau rusak tidak dipedulikan, sebagaimana sering terjadi, roh itu akan meredup dan akhirnya tidak berdaya. Ada dua bagian pada kelompok aset ini: pusaka fisik dan tradisi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Yang pertama merujuk kepada bangunan-bangunan bersejarah, lingkungan-lingkungan perkotaan yang khas, dan monumen-monumen yang mengenang peristiwa atau tokoh masa lampau. Ketika kita menimbang nilai-nilai pusaka, satu pertanyaan muncul tentang peran kenangan dalam pembangunan.  Bagi saya nampaknya salah satu sebab kita sangat menghargai tingalan-tinggalan dari masa lampau adalah bahwa, jika kita tidak demikian, bagaimana kita bisa menghargai masa depan, yang sendirinya akan segera masuk ke dalam sejarah? Kontinuitas ini penting bagi kita sebagai manusia. Ia juga penting dalam membangun rasa tempatan (sense of place).

            Saya berpendapat bahwa lingkungan-lingkungan pusaka memiliki makna khusus dalam bentangan luas kota kontemporer. Orang mengidentifikasikan dirinya pertama-tama dengan lingkungan tempat tinggalnya sebelum dengan kota-wilayah, yang sebagian besar tidak pernah mereka kunjungi. Kebanyakan dari kita menjalani hidup secara cukup lokal, bukan universal, dan kita mencintai ruang-ruang kecil di dalam kota, pasar rakyatnya, lingkungan sekitar pura, warung, kafe yang menjadi tempat-tempat bertemu, dan bahkan seluruh daerah seperti Gion di Kyoto berpusat pada puranya yang terkenal. Di Vancouver, mungkin ruang khalayak yang paling populer adalah Granville Island, suatu adaptasi yang luar biasa dari suatu ruang bekas industri tua menjadi pasar rakyat yang menarik ribuan pembelanja lokal dan turis setiap hari. Pada sisi lain Pasifik, di Provinsi Fujian di bagian selatan China, kota Zhangzhou adalah contoh lain dari suatu kota yang menghargai pusaka fisiknya, khususnya yang disebut blok bersejarah dengan pelengkung-pelengkung peringatan yang dengan hati-hati dilestarikan serasi dengan lingkungan sekitarnya.

            Bagian kedua dari kelompok aset ini adalah gairah kehidupan budaya kota. Di sini saya membayangkan tradisi populer di mana masyarakat dari berbagai tingkatan dan umur berperan serta, yang datang kembali setiap tahun, dan yang selalu kita nantikan dengan senang. Ini mencakup peristiwa pesta yang menandai berlalunya musim, seperti misalnya Hari São João di Salvador, Bahia, di Brazil, dengan kebiasaan kuno berupa persembahan bunga kepada dewi para nelayan, Iemanja, dan balon kertas ajaib yang membawa cahaya berkelap-kelip di langit malam yang gelap. Atau, festival tiga-hari di Tudela, sebuah kota kecil di Spanyol utara, dengan tarian-tarian di alun-alun kota, makan pagi bersama pada meja yang digelar di jalan-jalan, dan prosesi keagaaman, dengan membawa gambar Perawan Maria mengelilingi lingkungan di kotanya. Atau, merayakan Dia de los Santos di barrio di Mexico.

            Semua pesta-pesta populer ini muncul, sebagaimana adanya, secara spontan, tahun demi tahun. Sebagai tradisi lokal, mereka sekaligus merupakan peristiwa populer dan kemasyarakatan yang membangun ikatan solidaritas di tengah masyarakat sambil memberikan identitas kepada suatu tempat. Kekuatan suatu wilayah, menurut hemat saya, adalah orangnya dan cara hidup mereka.

            Kelompok aset kota-wilayah yang keempat adalah aset kreatif dan intelektualnya, yang merupakan kualitas universitas-universitas dan lembaga-lembaga penelitian dan apa yang orang Jepang sebut sebagai “harta karun manusia yang hidup” mereka, seniman dan pengrajin, cendekiawan dan ilmuwan, musisi dan penulis, penyair dan pembuat film, aktor dan penari yang mewujudkan daya kreatif suatu wilayah. Kecil dalam jumlah, namun mereka adalah intisari dari masa depan suatu wilayah dan harus diperhitungkan sebagai salah satu harta karun yang paling bagus. Yang terbaik dari mereka adalah juga yang paling langka, dan kehilangan mereka adalah kerugian tidak terkira bagi kota. Kreativitas harus dipelihara. Ini penting untuk memungkinkan harta karun manusia ini mewujudkan bakatnya sepenuh-penuhnya. Ilmuwan memerlukan laboratorium penelitian. Mahasiswa yang sedang mengejar gelar tinggi memerlukan universitas yang memiliki perlengkapan dan staff yang layak. Pembuat film memerlukan ruang studio dan seniman memerlukan galeri untuk menggelar karyanya sebagai mana juga studio. Aktor dan penari harus punya panggung untuk menngelar pertunjukannya. Dan mereka semua memerlukan kebebasan untuk mencipta sebagaimana dikehendakinya.

            Kini ada banyak pembicaraan tentang apa yang disebut kelas kreatif yang harus dimajukan oleh kota-kota. Argumen saya berbeda. Kreativitas tidak dapat diperintah, tetapi karya kreatif memerlukan dukungan publik. Pasar sendiri tidak akan mencukupi. Gagasan baru dan penciptaan artistik seringkali tidak populer, dan semua pencipta cenderung bergerak mengikuti irama yang berbeda dari yang diikuti orang biasa. Kehadiran elit budaya dan cendekiawan menjamin kemampuan suatu kota untuk ber-inovasi. Kontak-kontak profesional menjangkau kota-kota lain di seluruh dunia, dan dari pertukaran-pertukaran ini terjadilah cara pandang dan berpikir yang berbeda yang memperkaya semangat dan daya hidup kota. Para elit inilah yang merupakan sumber utama pemikiran kritis yang menentukan pemetaan masa depan kota.

            Kini saya beralih ke kelompok kelima yang terdiri dari aset alam kota-wilayah. Yang saya maksud adalah karunia sumber daya alamnya: ladang-ladang pertanian, daerah tangkapan air, tepi danau dan pantai lautan, bentang alam yang indah, hutan, perikanan, yang penggunaannya sekaligus untuk produksi dan dinikmati langsung. Sebagaimana kita ketahui, aset alam mudah tersia-siakan melalui pengabaian atau eksploitasi yang sembarangan. Kawasan pinggiran atau peri-urban menetapkan batas-batas perluasan perkotaan, di mana desa dan kota saling bertemu dan terjalin dalam percah-percah guna-lahan yang gila-gilaan. Nafsu kota atas lahan sangat buas, bukan hanya untuk perumahan baru dan industri, tetapi juga untuk bandar udara, TPA, pembangkit listrik, taman impian, pusat perbelanjaan di sub-kota dan pengembangan di tepi koridor jalan (strip developments). Apa yang dulunya adalah pemandangan yang damai terdiri dari bentangan sawah dan desa dapat dengan cepat berubah menjadi lingkungan yang tercabik-cabik yang bukan perkotaan maupun pedesaan dan kelihatan benar-benar “tidak terkendali”. Namun tokh, kota tergantung kepada karunia sumber daya alam yang akan terus meningkatkan kualitas hidupnya selama perluasan keluarnya dibatasi dan ada perencanaan yang tepat menjaga keragaman yang kaya dari tata-guna lahan wilayah sehingga menjamin pembangunan yang harmonis dari fungsi-fungsi majemuknya yang seringkali bertentangan satu sama lain. Kota dan wilayah tegak dalam hubungan simbiosis, dan selama hubungan ini dipahami dan diperlihara dengan hati-hati, keduanya akan saling memajukan. Tetapi, bilamana hal tersebut tidak terjadi, perluasan kota yang tak terkendali akan tidak saja mengancam merusak karunia alam wilayah tersebut, tetapi juga membangkitkan biaya ekonomi, sosial dan lingkungan yang akhirnya meniadakan pembangunan itu sendiri.

Terkait erat dengan karunia sumber daya alam adalah kelompok aset keenam yang kita sebut aset lingkungan, yang mencakup kualitas-kualitas lingkungan fisik yang penting untuk mendukung kehidupan itu sendiri, seperti misalnya udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan kemampuan lahan untuk mendukung hunian manusia berkepadatan tinggi. Saya akan membahas ini sedikit saja, karena sudah banyak sekali yang ditulis. Tetapi, kecuali kalau kita memberlakukan apa yang oleh banyak orang dianggap aturan-aturan drakonian, kita akhirnya akan tenggelam dan punah di dalam tumpukan sampah kita sendiri. Sayangnya, pesan tersebut belum masuk cukup dalam secukup yang diperlukan, dan basa-basi terhadap lingkungan lebih banyak beredar ketimbang penegakkan secara keras standar-standar yang kita tahu harus diterapkan. Wilayah-wilayah yang baru mengalami urbanisasi seringkali merupakan pelanggar terburuk, dan justru pada tahapan awal dari apa yang sementara orang sebut sebagai “akumulasi primitif” lah terjadi pelanggaran terburuk terhadap lingkungan.

Kelompok aset ketujuh dan terakhir adalah kualitas prasarana perkotaan, yang terdiri dari semua sarana dan perlengkapan untuk angkutan, energi, komunikasi, air minum, air buangan, dan sampah padat yang biasanya memakan bagian besar dari anggaran barang modal sebuah kota. Tidak ada hal baru pada prasarana perkotaan sebagai aset. Pertanyaannya lebih pada tujuan dan kelompok sosial apa yang mau dilayani oleh pekerjaan umum demikian. Coba pertimbangkan masalah jalan kota. Tentu saja mereka diperlukan, tetapi apakah mereka diperlukan untuk bus dan wahana pergerakan publik lainnya atau untuk mewadahi mobil-mobil pribadi yang terus bertambah itu? Singkatnya, apakah mereka diperlukan untuk melayani kepentingan 15 persen penduduk yang merupakan kelas menengah yang sedang tumbuh atau kebutuhan mayoritas sejumlah besar orang biasa akan mobilitas melalui sistem angkutan umum, sepeda, dan jalan kaki? Angkutan yang terjangkau, yang sering terbukti juga berkelanjutan secara ekologis, adalah kebutuhan pokok warga yang hidup dengan pendapatan terbatas; jalan raya enam lajur dan jembatan semangi yang rumit bergaya Los-Angeles seringkali hanya berguna sedikit bagi mereka.

Pentingnya kebutuhan orang biasa akan mobilitas yang terjangkau jelas ditunjukkan oleh penyusunan anggaran secara partisipatif di Porto Alegre pada tahun 1990, di mana pelapisan jalan dan pelayanan bus di kawasan-kawasan pinggiran kota diberi prioritas tinggi oleh kebanyakan rukun warga. Begitu juga proyek-proyek prasarana lainnya: apakah membangun kota sebagai solusi 15 atau 80 persen? Godaannya adalah untuk menuju kepada yang 15 persen itu, karena—begitulah argumennya—mereka adalah kelas menengah berpendidikan yang lebih sejahtera, yang menjamin kemajuan ekonomi terus menerus. Dan jika kelas menengah lebih suka mobil dan kemudahan hidup lainnya, jadilah; kebutuhan orang biasa selalu dapat ditunda, terkadang selama beberapa generasi. Tetapi, strategi demikian menghasilkan kota berkutup-dua, terdiri dari istana-istana berbenteng kaum kaya raya dan permukiman kumuh yang padat tempat penduduk lainnya terpenjara, dengan kebutuhannya akan perumahan, pendidikan, kesehatan, dan mobilitas terjangkau diacuhkan.

Untuk para hadirin disini, saya memang tidak perlu lebih tersurat; statistik tentang kota dualistik itu sudah cukup kita ketahui bersama. Apa yang diperlukan dalam jangka panjang adalah kota 80 persen itu. Tetapi bagaimana kota demikian dapat dicapai di dalam wilayah-wilayah yang baru mengalami urbanisasi?

Kekayaan sejati kota-kota ditemukan di dalam pembangunan progresif atas basis aset-asetnya melalui upayanya sendri yang terpadu dan berkelanjutan. Kekayaan nyata tidaklah diukur oleh pertumbuhan produk regional, suatu statistik tunggal yang lebih banyak menyembunyikan daripada mengungkapkan hal. Jenis data keras yang berbeda diperlukan untuk menilai tingkat kekayaan suatu wilayah, ialah data yang harus dikumpulkan dari bagian demi bagian dan bahkan dari satu RT ke RT berikutnya untuk mengungkapkan variasi yang signifikan di dalam ruang. Rata-rata menyeluruh tidak banyak berguna untuk analisis kebijakan, apalagi untuk perencanaan. Tiap-tiap aset wilayah yang banyak itu harus dievaluasi secara terpisah dalam bilangan investasi yang telah ditanamkan dan hasil yang dicapainya. Peta-peta yang menunjukkan ukuran hasil dapat dibuat dan disebarkan ke dalam kalangan masyarakat luas untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif atas situasi yang ada, hasil-hasil yang diperoleh selama masa berlaku perencanaan yang lalu, hal-hal yang belum tercapai, dan solusi yang disarankan. Menciptakan dialog publik untuk berbagi informasi seperti ini akan menciptakan dasar untuk perencanaan berikutnya.

            Menurut hemat saya membangun aset dengan cara terus menerus menanamkan modal ke dalamnya akan lebih bermanfaat untuk pembangunan perkotaan dan wilayah daripada mengundang penanaman modal dari perusahaan-perusahaan global ke dalam basis aset yang belum berkembang atau sedang merosot lebih jauh. Modal global bersifat bebas bergerak. Ia tidak berkepentingan dengan wilayah dimana ia menanamkan uangnya sejauh keuntungan maksimum terjadi. Membujuk modal global dengan menjual asset akan menghasilkan pembangunan palsu. Hal itu membentuk situasi yang menjebak pemerintah-pemerintah kota yang secara bersemangat saling bersaing hingga mendorong penurunan upah global sambil mengarah langsung kepada kota 15 persen dengan semua persoalan bawaannya.

Peran pemerintah dan perencanaan

            Kini saya berpaling kepada topik terakhir saya, yaitu peran pemerintah dan cara terbaik merencanakan suatu pembangunan endogen, pembangunan dari dalam. Untuk berkisar dari strategi memasarkan-kota menuju ke strategi endogen yang berfokus pada pengembangan aset nyata suatu kota-wilayah diperlukan pemerintahan yang kuat yang mampu menyelenggarakan intervensi besar. Hal itu juga memerlukan kepemimpinan politik yang tercerahkan yang telah memiliki visi yang tidak diarahkan kepada suatu impian yang datang langsung dari film dan televisi Hollywood. Akhirnya, suatu strategi endogen akan memerlukan dukungan mayoritas penduduk kota. Dukungan jangka panjang mereka menentukan sukses kota tersebut.

            Pasti akan ada oposisi. Pengritik akan mengejek prinsip-prinsip pembangunan endogen. Mereka akan mempertanyakan darimana datangnya uang untuk upaya demikian, bila modal asing tidak dilibatkan. Mereka akan menyebutnya operasi kencangkan-ikat pinggang (bootstrapping) yang putus-asa yang akan menjebak kota ke dalam kemiskinan abadi, suatu lubang penjerumusan yang tidak ada jalan keluarnya. Kritik demikian, menurut hemat saya, gagal memahami keseluruhan cerita. Pertama, saya tidak maksudkan pembangunan endogen sebagai suatu strategi ekslusif. Jika kota bersangkutan memiliki kelebihan yang unik untuk modal asing, modal asing akan datang. Tidak juga modal akan menghilang dalam semalam, dan perusahaan-perusahaan akan memilih pindah keluar negeri untuk sejumlah alasan apapun yang maksimalisasi keuntungan (dihitung dalam jangka waktu yang lebih panjang) adalah salah satu dari banyak tujuan lainnya, seperti misalnya mendapatkan pintu masuk ke dalam pasar-pasar baru. Kedua, peningkatan kualitas aset akan dengan sendirinya merangsang penanaman modal asing yang mungkin akan ragu menempatkan pabriknya di kota seperti Lagos, Nigeria, dengan keadaan kehidupan sehari-harinya yang mengguncang, tetapi akan sangat mungkin mempertimbangkan menanam modal ke dalam suatu kota yang memiliki kebijakan progresif untuk meningkatkan prasarana economi, sosial dan lingkungan. Ketiga, tabungan lokal dapat cukup besar bahkan di dalam ekonomi yang relatif miskin selama pemerintahnya siap menerapkan displin fiskal yang ketat dan dengan keras memberantas korupsi. Keempat, belanja barang modal yang diperlukan untuk suatu pembangunan endogen akan berjumlah lebih sedikit daripada yang dibayangkan. Memenuhi kebutuhan dasar suatu kota 80 persen akan mahal, tetapi tidak perlu terjadi sekaligus. Yang penting,  kota-wilayah bersangkutan menunjukkan kemajuan yang terus menerus tahun-demi-tahun, terutama di sektor-sektor ekonomi kebutuhan dasar—perumahan, pendidikan, kesehatan, dan mobilitas yang terjangkau—yang dapat didokumentasikan dengan baik dan dapat dilihat oleh semua orang. Beberapa aset, misalnya basis aset alam dari wilayah itu, atau pusaka fisik dan gairah budaya, memerlukan dukungan untuk, dan pengakuan akan, budaya populer sebagaimana juga perencanaan dan perancangan yang bagus, tetapi memerlukan belanja publik yang relatif rendah. Kelima, prioritas untuk investasi publik harus ditegakkan. Pembangunan perkotaan dan kewilayahan bukanlah proses mulus menuju keadaan keseimbangan khayalan. Alih-alih, sebagaimana diajarkan oleh Albert Hirschman di waktu yang lampau, pembangunan itu akan membawa guncangan-guncangan dari ketidak-seimbangan ke ketidak-seimbangan, karena titik-titik tekanan berbeda terkena, mendorong penyesuaian dalam kebijakan dan alokasi anggaran.

            Sebagai penutup, saya hendak membuat sedikit catatan menyangkut perencanaan pembangunan perkotaan di wilayah-wilayah yang sedang tumbuh. Tata-guna lahan atau lebih luasnya tata-ruang punya tempatnya di dalam semesta besar. Tetapi jenis perencanaan yang secara efektif mengena kepada ketujuh kelompok aset dari wilayah perkotaan di atas tidak dapat diletakkan hanya dibawa satu rencana tunggal. Ia memerlukan intervensi publik dalam bidang perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, angkutan, sanitasi, budaya dan komunitas, dan semua lainnya dalam suatu “pendekatan kepemerintahan yang utuh.” Dan pendekatan demikian hanya mungkin jika ada kesepakatan yang luas pada pemerintah setempat atas suatu visi strategis jangka panjang. Membangun konsensus lokal hanyalah suatu permulaan, bagaimanapun juga. Melampaui birokrasi setempat terdapat bukan saja birokrasi pemerintahan atasan serta kepentingan korporasi yang punya kekuasaan besar yang harus diajak serta, tetapi juga  eselon-eselon dalam birokrasi bawahan suatu kota, pemerintah kabupaten dan kota-kota dalam wilayah yang sama, organisasi lingkungan perkotaan dan yang berbasis komunitas yang harus diajak berkonsultasi, sebab di sinilah pada akhirnya intervensi harus berujung. Realistiknya, tidak semua energi dapat digerakkan dan diselaraskan  dengan proyek pembangunan ini. Namun, apa yang jelas adalah bahwa perencanaan  pembangunan berlangsung melalui komunikasi langsung, suatu dialog di antara sesama pelaku yang relevan, karena hanya sebagai suatu upaya kolaborasi lah hal itu dapat berhasil. Tidak seorang pun punya kuasa dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan suatu tugas besar demikian tanpa mengajak semua orang terlibat.

            Meletakkan masalah dalam cara demikian membawa kita kepada suatu tantangan baru bagi para perencana, yaitu menguasai seni mendengarkan kebhinekaan pandangan. Dalam suatu upaya memahami sudut-pandang dan cara berpikir mereka yang berbeda-beda, terutama ketika mereka bertentangan dengan kita punya. Menulis tentang Johannesburg, Philip Harrison dengan bagus menggambarkannya:

Para perencana dan pejabat pemerintah kota telah mengungkapkan kapasitas besar untuk terlibat langsung….dengan cara berpikir dunia korporasi. Bagaimanapun, mereka telah berjuang berurusan dengan jaringan yang sangat tersembunyi dari aturan-aturan informal, cara berpikir dan keinginan-keinginan yang menstrukturkan kehidupan warga biasa di dalam kota ini. Namun, sejumlah bukti yang makin banyak menunjukkan bahwa rencana dan kebijakan yang mampu terlibat dengan jaringan tersembunyi ini….adalah yang paling mungkin menghasilkan dampak positif pada kehidupan warga kota.

            Merencana dalam makna ini sangat besar berarti suatu proses komunikasi, yang di dalamnya rencana, peta dan dokumen formal lainnya punya peran, tetapi di mana ujaran langsung lebih penting daripada kata-kata tertulis, dan saling memahami dibentuk melalui kerjasama terus menerus. Proyek kita adalah menciptakan kekayaan melalui investasi ke dalam aset nyata suatu wilayah yang, dalam jangka panjang, akan mengurangi ketergantungannya kepada modal dari luar, dan membantu membuat masa depannya lebih berkelanjutan.

            Kota berkelanjutan adalah mimpi yang mungkin. Itu berarti menerima fakta bahwa kota-kota harus mengakar di dalam lingkungannya, yang padanya masa depan kota-kota itu tergantung. Itu berarti melibatkan warga setempat dalam upaya bersama dengan memberi mereka hak atas masyarakat yang di dalamnya mereka menjadi bagian. Itu berarti berhubungan dengan kota-kota lain, wilayah-wilayah lain dan memperkuat jariangan yang sedang terbentuk. Di atas segalanya, itu berarti percaya pada kemampuan Anda sendiri dalam membentuk masa depan yang ada.

            Terima kasih banyak.

 Teks Asli dalam Bahasa Inggeris:

The Wealth of Cities: Towards an Assets-based Development of Newly Urbanizing Regions1

UN-Habitat Award Lecture

John Friedmann University of British Columbia

In one of her books, the recently deceased American-Canadian urbanist Jane Jacobs, a national icon, tells the story of a village named Napizaro several hundred miles to the northwest of Mexico City. Local families had lived there for generations on subsistence farming supplemented by a few cash crops. Their lives, writes Jacobs, were inconceivably grim. But a couple of generations ago, a new factor entered the lives of some of these people: the pull of jobs in the United States. And over the years, Napizaro has come to depend on those jobs for its present prosperity. The community now has street lights, a modern infirmary, and a new bull ring named the North Hollywood in honor of the industrial section of Los Angeles from which this prosperity comes. For the most part today, the village’s twelve hundred inhabitants live in comfortable brick houses with pretty patios and TV antennas.

But what you see in Napizaro is less important than what you do not. At any given time, more than three-quarters of the men are away, working in North Hollywood. For all its amenities, Napizaro is described as a sad settlement where leave-takings are sorrowful and absences long, and where women live dreary, lonely lives. Jacobs concludes her story with this observation:

After forty years of remittances,…remittances used responsibly, thriftily and cooperatively, the fact remains that if the remittances were to stop, Napizaro would

1 I would like to thank the following for their critical comments on an earlier draft of this lecture: Leonie Sandercock, Michael Leaf, Haripriya Rangan, Vinay D. Lall, and Matti Siemiatycki.

page1image15464

1

quickly sink back into the grim poverty it knew before the migrations and remittances began. Or more likely, its people would have to abandon the region entirely. For the fact is that despite the money sent back from Los Angeles and the television sets and other imports it buys, economic life in the region—ways of making a living right there—remain unchanged.2

I would like to take this story, which to me reads like a parable, as the theme for my talk. Only I won’t be talking about poor villages in remote parts of the world but of cities and their regions in the rapidly urbanizing countries of the global South. My argument has four parts. First, I want to suggest that we can no longer treat cities apart from the regions surrounding them with which they are intensively entwined. Second, I want to critically examine the current policy consensus that a city’s future rests chiefly on its exports, and that to achieve such exports, outside capital with its undisputed knowledge of global marketing and up-to-date technology must be invited in to generate the jobs and incomes that are needed. Third, I would like to consider an alternative policy that concentrates on the long-term endogenous development of seven clusters of regional assets that will generate what I consider to be the true wealth of city- regions. Finally, I will close with some comments on the role of government in promoting such a development.

Cities in Regions: an Organic Relation

We often speak of cities, because the term conveys a general idea, but if we are pressed to be more specific, we quickly discover how nebulous the notion of city really is. For some it means a municipality with clearly defined boundaries. For others, it signifies the central business district, the core of a metropolitan area. And what about suburban areas even when they are self-governing entities? Do they, too, form part of what we mean by city? And if they did, why do airports that bear the name of the central city so often lie beyond suburbia in the terrain of the peri-urban? And indeed where does the city end and the countryside begin? This last is a question that is almost impossible to answer with precision, because “citiness” is a quality that spreads outward from given centers until it

2 Jane Jacobs, Cities and the Wealth of Nations: Principles of Economic Life. New York: vintage Books, 1985, pp. 75-78 (italics supplied).

page2image20904

2

begins to intersect with the outer boundaries of adjacent centers, forming a continuous landscape of the urban.

In the past, cities were surrounded by walls that marked their boundary, but the walls have long since gone, and the physical area of the city has spilled out into the countryside with no clearly marked borders. Urban water supply is captured in regional watersheds that make the city possible in the first place. I’ve already mentioned airports that are located far from the center but are visibly linked to it with rapid transit and super-highways. Some of these airports have attracted major multinational investments forming so-called edge cities on greenfield sites. Food for the city is typically grown in the region and trucked to distribution centers in various metropolitan locations. On weekends, masses of people exit from urban and suburban centers to the regional periphery, hoping to enjoy some moments of leisure in mountain resorts, regional parks, and on beaches.

All this we know from personal observation. The organic relation of city and its region is nothing new. But we rarely think of them as a unit, especially when the region is itself partitioned into counties, municipalities, and townships. Scholars in both Europe and North America have written extensively about the growing need for regional governance, but to little avail.3 City and region remain divided and often compete with each other for global capital. A notable exception is China, where prefectural cities have been designated as “leading” cities with authority over adjacent “rural” counties, thus becoming responsible for a coordinated development. Most of China’s population today lives in one or another of these city-regions. In the rest of my talk, therefore, when I speak of cities and regions what I have in mind is this organic relationship for which city-region is the symbolic expression.

3 For an overview, see Allen J. Scott, ed., Global City-Regions: Trends, Theory, Policy. Oxford University Press, 2001. With an emphasis on inter-city competition, this book is in the mainstream of current thinking. William Cronon has written the classic historical study of a city region in Nature’s Metropolis: Chicago and the Great West. New York: W.W. Norton, 1992. For a European perspective on city regional governance, a key issue in regional development policy and planning, see Tassilo Herrschel and Peter Newman, Governance of City Regions: Planning, Policy and Politics. London: Routledge, 2002.

page3image20112

3

Cities are not containers

Compete or perish, say neo-liberal pundits. The competition, of course, is not for the attention of consumers but for outside investors. The imaginary which has become widely accepted is that capital—call it surplus money—is constantly on the look-out for opportunities to grow more capital, and will go wherever the prospects of growing capital are the most promising. Global capital is footloose, we are told. It has no loyalty to place, and its horizon of expectation is short: investments have to be recouped in only a few years. What cities must therefore do to attract this footloose capital is to show their willingness to accommodate its hard-core needs: appropriate economic infrastructure, cheap land, disciplined labor, and tax relief. Following this advice, cities try to make themselves as attractive as possible to global suitors. Turning themselves into commodities for the capital market, they compete for attention by branding their image. They chase after the magic of the Olympics or some other global sporting event, hoping that if they win over competing locations, they will become household words, like Coca-Cola or Nike athletic gear. They prostrate themselves before the power of global corporations, promising to deliver what is wanted of them, from virgin sites to low wages and political stability.

Once a city is successful in luring a promised investment, its emissaries return home to great acclaim. But the city is not simply a container for inbound investments unless it wishes to repeat the fate of Jane Jacobs’ village Napizaro of which she said, if ever the flow of remittances should cease, it would soon return to its former misery. Because once capital moves on to more promising regions as it often will, what it leaves behind is nothing more than the empty shell of abandoned factories. Meanwhile the city will have lost more than just a few hundred or even thousands of jobs. It has squandered an opportunity to develop its own tangible assets, which in their place-specific qualities are always unique. It has failed to initiate and sustain an endogenous development—a development from within—based chiefly on local savings supplemented by international aid

4

and private contributions. And it has lost a chance to learn about how to promote a genuine development by engaging in it directly. I turn now to a consideration of these assets, and why neglecting them engenders a false hope in the shimmering pot of gold at the end of the rainbow.

True wealth: the quality of a city’s tangible assets

I divide the tangible assets of city-regions into seven clusters that include human, social, cultural, intellectual, natural, environmental, and urban assets. To varying degrees these assets are present in all city-regions, in rich countries as well as poor, and I shall argue that investing in them should be the principal task of local government.

Heading the list are a city’s human assets, that is, people and the quality of their lives and livelihood. At issue here are the so-called basic human needs, principally adequate housing with secure tenure; educational opportunities for both girls and boys to prepare them for the modern world; and access to good health. (There is a fourth basic need of which I will speak later). The satisfaction of these tangible, material needs constitutes the foundation for our most fundamental right, the right to life. Achieving quality housing, education, and health for every citizen must therefore be the aim of every genuine development. In the final analysis, this is a state responsibility. Leaving their satisfaction to the blind operation of market forces will only create gross inequalities, allowing those few who already have a foundation in basic assets to pursue a life of human flourishing while marginalizing the majority who lack the foundations for this most precious of human rights.

The second regional asset is its organized civil society, that is, the multiple self- organizing activities of local citizens. No list can do justice to the myriad things people do for themselves when given a chance. There are local churches, mosques, and temples that are supported by and draw the faithful. In some countries, such as China, there are lineage and ancestral associations that link

5

the present generation to generations past. For younger people, there are athletic groups promoting every sort of sport, while others engage in music making and dancing. In Spain, I have come across gastronomic clubs whose members enjoy cooking for each other, celebrating fellowship with food and wine. Others join civic clubs promoting projects throughout the city from neighborhood beautification campaigns to visiting old people’s homes. Hobbies ranging from flower arranging to collecting song birds and crickets will inevitably bring aficionados together. In some western countries, such as Canada, there are also associations, some powerful, some not, that are active politically, lobbying the government on behalf of various causes. And so on.

But in what ways, we might ask, are these associational forms of civic life an asset to be nurtured, particularly at the local level? In some countries, the state regards civil society organizations as a potential threat to the established order. Many believe that unless these organizations are closely monitored, they are potentially a source of trouble for the state. The answer is that organized civil society is for the most part deeply engaged with the everyday life of neighborhoods and communities. Basketball or soccer teams from different parts of the city-region play against each other and are celebrated as local heroes. Religious associations sponsoring festivals honoring local saints, generate a strong sense of belonging and also support the work of volunteers in the community. Housing associations assist people in acquiring a home. Neighborhood centers help to integrate newcomers into the mainstream of urban life. Lobbying groups bring their concerns to the attention of government, pushing for new legislation. Youth clubs help young people who might otherwise be lost to the street find support among their peers. And thus, far from encouraging dreaded chaos, organized civil society should be seen as a source of civic strength and as an asset worthy of public support. Its existence acknowledges the full diversity of the city while promoting local citizenship.

6

The region’s heritage of its built environment and the distinctiveness and vibrancy of its cultural life comprise the third asset cluster. Culture is the spirit of the people, and neglected or carelessly destroyed, as happens so often, the spirit atrophies and eventually succumbs.4 There are two parts to this cluster: physical heritage and the cultural traditions of everyday life. The first refers to historical buildings, distinctive urban neighborhoods, and monuments commemorating past events or personalities. As we think about heritage values, a question is raised about the role of memory in development. It seems to me that one of the reasons why we treasure the relics of bygone eras is that, if we did not, how could we value the future, which itself will soon pass into history? These continuities are important to us as human beings. They are also important in establishing a sense of place.

I would argue that heritage districts are of special significance in the vast expanse of the contemporary city. People identify with their neighborhoods before they identify with a city-region, most parts of which they have never visited. Most of us live our lives quite locally, not universally, and we treasure the small spaces of the city, its public markets, neighborhood temples, local tea rooms, coffee shops, and pubs that are places of encounter, and even an entire district such as Kyoto’s Gion quarter centered upon its famous shrine. Here in Vancouver, perhaps the most popular of all public spaces is Granville Island, a remarkable adaptation of an old industrial space into a public market that draws thousands of local shoppers and tourists each day. On the other side of the Pacific, in China’s southern Fujian Province, the city of Zhangzhou is another example of a city that values its physical heritage, particularly in the so-called historical block with its memorial archways carefully preserved in harmony with their surroundings.

4 This has happened in many African cities that have lost any semblance of collective identity they may have had. See AbdouMaliq Simone, “Pirate Towns: Reworking Social and Symbolic Infrastructures in Johannesburg and Douala,” Urban Studies, 43:2, February 2006, 357-370 as well as his book, For the City yet to Come: Changing Life in Four Cities. Durham, NC: Duke University Press, 2004. There is an amazing spirit of self-preservation in the African cities Simone describes, but it is the total failure of collective life in these cities that leads me to think that their spirit, which was once a glimmer of hope, has died.

page7image21104

7

The second part of the cluster is the vibrancy of a city’s cultural life. Here I am thinking of popular traditions in which people of all ranks and ages participate, which come round each year, and to which we look forward with pleasure. They include festive occasions that mark the passing of the seasons, such as São João’s Day in the Brazilian city of Salvador, Bahia, with its ancient flower sacrifice to the fishermen’s goddess, Iemanja, and magical paper balloons that carry flickering lights across the darkening night sky. Or a three-day festival in Tudela, a small city in northern Spain, with dancing on the city square, communal breakfasts on tables set out in the streets, and a religious procession, carrying an image of the Virgin Mary around the neighborhoods of her city. Or celebrating the Dia de los Santos in Mexican barrios.

All these popular festivities emerge, as it were, spontaneously, year after year. Local traditions, they are both civic and popular occasions that build bonds of solidarity among the people while giving identity to a place. The strength of a region, I would argue, is its people and their ways of life.

The fourth cluster of a city-region’s assets are its intellectual and creative assets, which are the quality of its universities and research institutes and what the Japanese call their “living human treasures,” its artisans and artists, intellectuals and scientists, and all others, musicians and writers, poets and film makers, actors and dancers who embody a region’s creative powers. Small in number, they are nonetheless essential to a region’s future and should count among its finest treasures. The best among them are also the rarest, and to lose them is an inestimable loss to the city. Creativity must be nurtured. It is important to allow these human treasures to exercise their talents to the fullest. Scientists need research laboratories. Students pursuing advanced degrees require universities that are properly equipped and staffed. Film makers require studio spaces and artists need galleries to display their work as well as studios. Actors and dancers

8

must have stages to perform their work. And all of them require the freedom to create as they will.

There is much talk today about a so-called creative class that cities should promote.5 My argument is different. Creativity cannot be commanded, but creative work requires public support. Market forces alone will not suffice. New ideas and artistic creations are often unpopular, and those who create tend to march to a different drummer from ordinary people. Cultural and intellectual elites, their presence ensures a city’s capacity for innovation. Professional contacts extend across the globe to other cities, and from these exchanges come new ways of seeing and thinking that add to the city’s liveliness and vigor. It is these elites that are the primary source of informed critical thinking which can be crucial to charting a city’s future.

I turn now to the fifth cluster consisting of a city-region’s natural assets, by which I mean its resource endowment: its farms, watersheds, lakesides and ocean beaches, picturesque landscapes, forests, and fisheries, whose use is both for production and enjoyment. As we know, natural assets are easily squandered through neglect or thoughtless exploitation. The fringe or peri-urban areas identify the margins of urban expansion, where village and city encounter each other and intermingle in a crazy quilt of land uses. The city’s appetite for land is voracious, not only for new housing and industrial uses, but also for airports, landfills, power plants, amusement parks, suburban shopping malls and strip developments along major highway routes. What was once a serene landscape of rice fields and villages can quickly turn into a fractured, fragmented environment that is neither urban nor rural and seems utterly “out of control.” And yet, the city depends on its natural endowment that will continue to further the quality of its life so long as its outward expansion is constrained and appropriate planning for the rich diversity of regional land uses ensures an

5 Allen J. Scott, “Creative Cities: Conceptual Issues and Policy Questions,” Journal of Urban Affairs, 28:1, 2006, 1-16.

page9image17640

9

harmonious development of its many, often contradictory functions. City and region stand in symbiotic relation, and so long as this relationship is understood and carefully nurtured, both will advance together. But where this is not the case, the city’s relentless expansion will not only threaten to destroy the region’s natural endowment but generate economic, social, and environmental costs that ultimately undermine its own development.

Closely related to its natural resource endowment is the sixth cluster of assets that we call environmental, which includes those qualities of the physical environment that are essential for sustaining life itself, such as the air we breathe, the water we drink, and the capacity of the land to support human settlement at high densities. I will say little about it, because so much has already been written.6 But unless we impose what many consider to be draconian measures, we will eventually drown and perish in our own wastes. Unfortunately, the message hasn’t sunk in to the extent that it needs to, and lip service to the environment is more common than rigorously enforcing the standards that we know must be applied. Newly urbanizing regions are often among the worst offenders, and it is precisely during the early period of what some call primitive accumulation that the worst offenses against the environment take place.

The seventh and final asset cluster is the quality of urban infrastructure, which is all the facilities and equipment for transportation, energy, communications, water supply, sewerage, and solid waste disposal that typically swallow up a large portion of a city’s capital budget. There is nothing particularly novel about urban infrastructure as an asset. The question is rather what purposes and social groups are served by public works. Consider the question of city roads. They are certainly needed, but are they needed for buses and other public means of locomotion or to accommodate private automobiles in constantly growing numbers? In short, are they needed to serve the interests of the 15 percent of the

6 For a systematic planning perspective, see Marco Keiner, Planungsinstrumente einer nachhaltigen Raumentwicklung. Innsbrucker Geographische Studien, vol. 35. Geographie Innsbruck Selbstverlag, 2005.

page10image18264

10

population that constitute the emerging middle class or the needs of the great majority of ordinary people for an affordable mobility through public transit, bicycles, and walking? Affordable transport that, as it happens, is also ecologically sustainable, is a primary need of people living on limited incomes; six-lane super-highways and complicated, Los Angeles-style cloverleaf intersections are of little use to them.

The importance of ordinary people’s needs for affordable mobility was clearly demonstrated by the experiment with the participatory budget in Porto Alegre in the 1990s where road paving and bus services in outlying city districts was signaled as a matter of high priority by most neighborhood assemblies. And so it is with other infrastructure projects: is city building to be a 15 or an 80 percent solution?7 The temptation is to head for the 15 percent, because—so the argument goes—it is the more affluent, educated middle class that ensures continued economic progress. And if the middle class prefers the automobile and other amenities of life, so be it; ordinary people’s needs can always be postponed, sometimes for generations. But the result of such a strategy is the bi- polar city of the fortified citadels of the rich and the teeming, over-crowded slums to which the rest of the population is consigned, their needs for housing, education, health, and affordable mobility ignored.

7 These percentages are indicative only. If we look at particular cities, we will find a more accurate division between the haves and have nots. For example, Bangalore, the capital of Karnataka State in India, is a city of over 5 million people. In the late 1990s, the city generated an estimated 3000 tons of solid waste, of which little more than 1000 tons were actually collected. One could reasonably assume, therefore, that one-third of the population (those living in the middle class neighborhoods of the city) is relatively well served, while two-thirds are not. Hence, Bangalore would be a 30 percent city in my language. See Solomon Benjamin, “Governance, Economic Settings and Poverty in Bangalore,” Environment & Urbanization, 12:1, April 2000, 35- 56. The story in Lagos, a city with an estimated population of over 10 million people, is different. Lagos is the former capital of Nigeria, but its recent history, writes Matthew Gandy, has been marked by a stark deterioration in quality of life: “Over the past 20 years, the city has lost much of its street lighting, its dilapidated road system has become extremely congested, there are no longer regular refuse collections, violent crime has become a determining feature of everyday life and many symbols of civic culture such as libraries and cinemas have largely disappeared. The city’s sewerage network is practically non-existent and at least two-thirds of childhood disease is attributable to inadequate access to safe drinking water.” (Matthew Gandy, “Planning, Anti- planning and the Infrastructure Crisis Facing Metropolitan Lagos,” Urban Studies, 43:2, February 2006, 372. In my 80 percent city, such conditions would not exist.

page11image24440

11

For the present audience, I do not need to be more explicit; the statistics on dual cities are sufficiently well known to us. What is needed in the longer term is the 80 percent city. But how in newly urbanizing regions can such a city be achieved?

The true wealth of cities is found in the progressive development of its assets base through a concerted and sustained effort of its own. Real wealth is not measured by the growth of regional product, a single statistic that hides more than it reveals. Different sorts of hard data are needed to assess the state of a region’s wealth, data that must be collected district by district and even neighborhood by neighborhood to reveal significant variations across space. Overall averages are not very useful for policy analysis, let alone planning. Each of a region’s many assets must be separately evaluated in terms of investments made and the achieved results. Maps showing outcome measures can be produced and shared with a wider public to gain a comprehensive understanding of the existing situation, the results obtained over the past planning period, remaining disparities, and proposed solutions. Creating a public dialogue around shared information of this sort creates a basis for the next round of planned actions.8

My argument is that building assets by steadily investing in them will do more for urban and regional development than soliciting investments from global firms into an underdeveloped asset base subject to further degradation. Global capital is mobile. It has no stake in the region where it places its money so long as profits are maximized. Seducing global capital by selling off one’s assets leads to an illusory development. It sets up a situation in which eagerly competing city governments inevitably drive down global wages while heading straight for the 15 percent city with all that this entails.

8 On the need for such a dialogue, see Edgar Pieterse, “Building with Ruins and Dreams: Some Thoughts on Realising Integrated Urban Development in South Africa through Crisis,” Urban Studies, 43:2, February 2006, 285-304.

page12image17760

12

The role of government and planning

I turn now to my final topic, which is the role of government and the best ways to plan for an endogenous development. To shift from city-marketing to an endogenous strategy that is focused on developing the city-region’s tangible assets requires a strong government capable of undertaking major interventions. It also calls for enlightened political leadership that has embraced a vision not geared to an imaginary that comes straight out of Hollywood movies and television. Finally, an endogenous strategy will need the backing of a majority of the city’s population whose long-term support is essential to its success.

Opposition is sure to emerge. Critics will ridicule the principles of an endogenous development. They will ask where the money will come from for such an effort if foreign capital is not involved. They will call it a hopeless bootstrapping operation that will trap the city in perpetual poverty, a sinkhole from which there is no escape. Such criticisms, I would argue, fail to grasp the whole story. First, I’m not presenting endogenous development as an exclusive strategy. If the city has unique advantages for foreign capital, foreign capital will come. Nor is all capital fly-by-night, and firms choose to locate their plants overseas for any number of reasons of which profit maximization (calculated over a longer time period) is only one among a number of other objectives, such as gaining entry to new markets. Second, the upgrading of asset qualities will itself stimulate foreign investments that might hesitate to locate plants in a city such as Lagos, Nigeria, with its shocking conditions of everyday life, but might very well consider investing in a city that has a progressive policy of upgrading both its economic, social, and environmental infrastructure. Third, local savings can be substantial even in relatively poor economies so long as the government is prepared to impose on itself stringent fiscal discipline and to vigorously combat corruption. Fourth, the capital expenditures needed for an endogenous development may amount to less than one might think. Meeting the basic needs of an 80 percent city will be expensive, but it needn’t happen all at once. What is important, rather,

13

is that city-regions mark steady progress year-by-year, especially in sectors of the basic needs economy—in housing, education, health, and affordable mobility—that can be amply documented and made visible to all. Some assets, such as the natural asset base of the region or its physical heritage and cultural vibrancy, require support for and recognition of popular culture as well as good planning and design, but only a relatively low level of public expenditures. Fifth, priorities for public investment must be established. Urban and regional development is not a smooth process towards an imaginary equilibrium state. Instead, as Albert Hirschman taught us long ago, it lurches forward from imbalance to imbalance, as different pressure points become activated, forcing an adjustment in policies and budgetary allocations.9

In closing, I would like to make a few observations concerning planning for urban development in emerging regions. Land use or more broadly spatial planning has its place in the total scheme of things. But the sort of planning that effectively addresses the seven asset clusters of the urban region cannot be subsumed under a single plan. It will involve public interventions in housing, education, health services, transportation, sanitation, community and cultural affairs, and all the rest in a “whole of government approach.” And such an approach is possible only if there is broad agreement within local government on a long-term strategic vision. Building a local consensus is only a beginning, however. Beyond the local bureaucracy there are not only the bureaucracies of senior governments and powerful corporate interests that must be brought along but also, and proceeding downwards to the lower echelons of the city’s bureaucracy, the region’s county and township governments, urban neighborhoods and community-based organizations will all have to be consulted, because it is here that interventions must ultimately come to rest. Realistically, not everyone’s energies can be harnessed and aligned with the project of development. What is clear, however, is that development planning proceeds through direct communication, a dialogue

9 The idea of development as a lurching forward from imbalance to imbalance is found in many of Albert O. Hirschman’s works. See for example his early book on Latin American, A Bias for Hope: Essays on Development and Latin America. Yale University Press, 1971.

page14image18976

14

among all relevant actors, because it is only as a collaborative venture that it can succeed. No one has the power and knowledge sufficient to carry out such a vast undertaking without getting everyone on board.

Putting the matter this way poses a new challenge for planners, which is to master the art of listening to a multiplicity of voices, in an attempt to understand their different viewpoints and rationalities, especially when they conflict with our own. Writing of Johannesburg, Philip Harrison puts it well:

planners and city authorities have revealed a strong capacity to engage…with the rationalities of the corporate world. They have struggled, however, to deal with the complex, largely hidden network of informal rules, rationalities and desires that structure the lives of ordinary citizens of the city. Yet, an increasing body of evidence suggests that the plans and policies that are able to engage with this hidden network…are those which are most likely to have a positive impact on the lives of urban citizens.10

Planning in this sense is largely a communicative process in which formal plans, maps, and other documents have a part to play but where the written word is less important than direct speech, and where mutual understandings are forged through continuing collaboration. The project at hand is the creation of wealth through investing in a region’s tangible assets that, in the longer term, will reduce its dependency on outside capital, helping to make its future more sustainable.

The sustainable city is a possible dream. It means embracing the fact that cities are embedded in their environment on which their future depends. It means engaging local citizens in the common effort by giving them a stake in the society of which they are a part. It means reaching out to other cities, other regions and strengthening emerging networks. Above all, it means trusting in your own powers to shape the future that lies ahead.

Thank you very much.

10 Philip Harrison, “On the Edge of Reason: Planning and Urban Futures in Africa,” Urban Studies, 48:2, February 2006, 332.

page15image18032

15


[1] Diterjemahkan dari John Friedmann, The wealth of cities: Towards an asset-based development of newly urbanizing regions, UN-HABITAT Lecture Award Series, No. 1, United Nations Human Settlements Programme (UN-HABITAT), Nairobi, 2007. Teks ini pertama-tama disampaikan sebagai ceramah khusus pada World Urban Forum 3, Juni 2006 di Vancouver.

This entry was posted in Nature and Environment, Uncategorized, Urban Development, Urban Planning and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

4 Responses to Kekayaan Kota: Menuju Pembangunan Berdasarkan Aset di Wilayah-wilayah yang Baru Mengalami Urbanisasi

  1. Pingback: Potensi Ancaman Bencana di Yogyakarta dan Sekitarnya « tak beranjak mencari celah ke langit

  2. Pingback: Dinamika Pembangunan Kawasan di Yogyakarta; Peluang atau Ancaman « tak beranjak mencari celah ke langit

  3. Pingback: Pusaka Yogyakarta dan Sekitarnya « tak beranjak mencari celah ke langit

  4. Pingback: Kekayaan Kota: Menuju Pembangunan Berdasarkan Aset di Wilayah-wilayah yang Baru Mengalami Urbanisasi | Bali Yin Yang

Leave a comment