“Kota-kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak”

Pengantar Peluncuran Buku

15 Agustus 2023

Goethe Institut, Jakarta.

Selain kepada yang tercantum di halaman terakhir buku, pada kesempatan ini saya ingin juga mengucapkan terima kasih kepada:

  • Goethe Institut, yang telah bermurah hati dan sabar mendukung kegiatan malam ini, dan banyak kegiatan kami sebelumnya.  
  • Para pemesan edisi khusus yang telah memungkinkan edisi biasa terwujud dengan tampilan dan daya tahan prima pada harga terjangkau.
  • Tentu saja kepada semua pembaca, edisi apapun, dan para hadirin semua senja ini: Terima kasih atas perhatiannya.
  • Kepada tamu kehormatan kita malam ini, saya ucapkan selamat datang dan terima kasih telah meluangkan waktu dari jadwal yang padat, dan untuk sambutan yang akan disampaikan nanti.

Buku ini bukan tentang bagaimana merencanakan kota; melainkan pengetahuan tentang kota dan tentang perencanaan kota itu sendiri, dan sepenuhnya mengambil kota Indonesia sebagai subyek dan sumber pengetahuan, setidaknya sebagai jendela ke pengetahuan-pengetahuan yang lain. Ia mulai dari Indonesia, tetapi Indonesia tidak selalu mulai dari dalam Indonesia, dan mungkin Indonesia juga bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk pemahaman kota di luarnya.

Motivasi ini sama dengan ketika saya bersama teman-teman mendirikan Rujak Centre for Urban Studies. Kami merasa ada “too much planning, too little knowledge”. Karena itu, tidak heran perencanaan kota kita sering mulai dengan kesalahan ontologis dan epistemologis. Sulit menyalahkan para perencana dan perancang, karena memang tidak tersedia pengetahuan untuk mereka. Buku ini bukan kritik terhadap mereka, melainkan tawaran asupan untuk mereka dan semua orang yang peduli.

Keadaan akhir-akhir ini telah menambah jelas sebab-sebab saya menulis buku ini. Kita diberitahu belakangan ini beberapa hal telah “salah rancang/design”. Ada juga yang “terlupakan direncanakan”. Bilapun ada perencanaan, hanya diberi waktu “enam bulan” dan bahkan suatu sayembara rencana induk sebuah kota penting hanya memberi waktu “dua minggu” kepada para peserta. Hal-hal ini memang bukan hanya terjadi belakangan ini. Sejak tahun 1980 saya telah cukup sering keheranan tentang cacat-cacat perencanaan di Indonesia. Pada tahun 1990-an saya diberitahu bahwa masalah hunian terjadi di sebuah kota industri karena tidak direncanakan hunian untuk para pekerja di dalam rencana induknya. Namun, bahwa hal-hal semacam itu masih terjadi hingga akhir-akhir ini, rasanya membenarkan kekhawatirkan bahwa “terlalu banyak perencanaan, terlalu sedikit pengetahuan” masih berlaku.

Perbandingan material akhir yang tampak semata, tanpa mendalami konteks yang mengandung pikiran, gagasan, institusi dan lain-lain yang turut menghasilkan yang material akhir itu, telah melahirkan apa yang ingin saya sebut “materialisme banal’. Perkembangan kota-kota kita tampaknya telah menyumbang banyak kepada materialisme banal itu: taman sekedar menyenangkan mata tanpa makna, prasarana tanpa sarana bagi komunitas sekitar, tempat-tempat wisata yang “seperti di X dan Z”, dengan titik pandang yang ditandai untuk ambil gambar, jembatan atau bangunan lainnya yang “tidak mengumpulkan” makna eksistensial (dalam maksud Heidegger dalam Bauen Wohnen Denken), dan seterusnya.

Namun, mungkin saja libertarianisme (neo-liberalisme), selain telah mencapai puncak-puncak gedung-gedung tertinggi di banyak kota, juga telah menyelam dalam pada benak-benak paling berpendidikan sekalipun. Kalau ini benar, kota-kota kita akan memerlukan para cendekiawannya bekerja keras dalam tahun-tahun mendatang.

Ditambah pula, dengan kecenderungan dua hingga tiga dasawarsa mendatang kota-kota Indonesia akan memasuki gelombang pembangunan yang makin besar. Bersamanya datang krisis bumi mendidih yang makin kuat dan mendesak, makin terasa dampaknya pada perasaan sehari-hari, pada kulit kita, pada nafas kita, pada semua dan seluruh indera kita. Peningkatan pengetahuan dan analisis akan tantangan masa depan berlomba dengan pendalaman pengetahuan dan analisis tentang pengalaman masa lalu dan lingkungan terdekat. Semoga buku “Kota-kota Indonesia: Pengantar Orang Banyak” ini masih sempat berperan sebagai pengantar. Berikut ini izinkan saya sampaikan sekadar beberapa sorotan. 

Pendahuluan 

Sensus di Hindia Belanda telah dilakukan sejak tahun 1920. Namun yang dianggap dapat dipercayai adalah yang sejak tahun 1930. Itulah sebabnya sekarang kita dapat mengamati berbagai hal dalam suatu rentang data yang cukup panjang, hingga hampir seratus tahun. Rafless juga menghitung penduduk Jawa-Madura pada awal abad ke-19. Tetapi kini diketahui perkiraannya tentang penduduk desa Jawa meleset, karena asumsinya yang bias. Desa jauh lebih banyak daripada yang dikiranya berdasarkan perspektif Eropa. Kini kita dapat melihat bukan saja dinamika terdata hal-hal demografis, tetapi juga dinamika ekonomi dan perubahan iklim dalam rentang 100 tahun. Dalam banyak hal lain, termasuk kota yang melekat pada bentang alamnya, kita memperoleh pula perspektif yang makin panjang dan makin panjang ke masa lalu, yang meningkatkan kemampuan kita melihat masa kini lebih jernih, dan melihat ke masa depan yang makin jauh pula. 

1. Ternate

Ternate memiliki kesempatan kedua. Ternate adalah kesempatan kedua Indonesia. Kesempatan pertamanya adalah rempah, yang oleh penyair Inggeris abad XVII, John Milton, disebut “spicy drugs” dalam karyanya The Paradise Lost. Rempah adalah bahan bakar kapitalisme perdagangan abad XVI — XVIII. Kini globalisasi ekonomi memerlukan nikel untuk batere, yang esensial untuk proses transisi ke energi terbarukan, setidaknya selama 20 tahun ke depan, sebelum teknologi baru yang tidak memerlukannya ditemukan.

Alfred Russel Wallace pada 22 Oktober 1858 memberitahu Sultan Bacan tentang demam emas di Australia, dengan maksud memperingatkan beliau tentang kedatangan orang-orang serakah dalam jumlah besar. Namun rupanya beliau salah paham, dan malah berseru “Oh, seandainya saja kami punya orang-orang seperti itu, pasti negeri saya sudah sama kayanya!”. 

Sedangkan Alfred Russel Wallace melihat kekayaan lain dari Malay Archipelago ini.  Pada tahun yang sama itu, dari Ternate Wallace mengirimkan surat yang kemudian disebut the Letter from Ternate atau the Ternate Essay kepada Charles Darwin, meminta pendapat beliau tentang gagasannya menyangkut ‘mechanism of natural selection’. Darwin menjawab, “Anda telah menguraikan secara paling ringkas apa yang juga saya pikirkan”. Pada tahun 1859, Darwin menerbitkan buku On the Origin of Species

Frederik Sigismund Alexander de Clercq, Residen Ternate dalam masa Desember 1884—Agustus 1888, mengungkapkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia gagasan untuk melakukan pelestarian spesies, dengan cara membatasi penangkapan burung dan lain-lain. Burung, dan hewan-hewan lainnya, adalah kelangenan eksotisme Eropa lainnya.

2. 

Makassar, Sulawesi Selatan. 

Orang Bugis adalah salah satu perantara yang membawa rempah dari Maluku ke barat. ‘Peta Bugis’ dari tahun 1820 merupakan bukti diaspora orang Bugis membentuk pusat permukiman, perkebunan, kota dan bahkan negara hingga ke Semenanjung Melaka. Ketika Rafless memilih Singapura sebagai pos kolonialismenya, komunitas pedagang Bugis yang telah berakar di sana sangat mungkin adalah salah satu pertimbangannya. Ia bukan pendiri Singapura dari nol.  

Kehadiran orang Bugis di Kawasan Melayu ini membuat terkenal tradisi kepemerintahan dan kepemimpinan yang melembagakan “aliansi” Melayu-Bugis: Raja dan Raja Muda. Raja Ali Haji, penulis Tuhfat Al-Nafis  yang membakukan tata bahasa Melayu yang kemudian bercabang menjadi Bahasa Indonesia dan Malaysia, adalah keturunan para raja muda Bugis. 

Budaya politik Bugis, yang antara lain menghasilkan tradisi “aliansi” ini, tidak berasal dari proses Indianisasi (Hindunisasi) seperti di Jawa dan Sumatra. Ketika pengaruh Hindu datang, orang Bugis telah memmiliki sistem yang berkembang dari dalamnya sendiri. Pertanyaan tentang siapa pahlawan, Hasanuddin atau Arung Palaka, perlu mempertimbangkan sejarah aliansi Gowa-Tallo’ (Makassar).

Budaya politik egaliter Bugis berasal dari masyarakat petani Sulawesi Selatan yang sejak lama sebelum kedatangan orang Eropa  sudah ekspor beras.  Sulawesi Selatan  memiliki beberapa kota-kota kecil pusat pertanian beras yang masih perlu dipelajari, terutama dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, misalnya kedua danau Sidenreng dan Tempe di tengah-tengah kaki selatan Pulau Sulawesi itu. Kehadiran masyarakat mereka dengan kelaziman pemimpin perempuan telah dilaporkan pengelana Austria, Ida Pfeiffer, pada tahun 1856. Kebudayaan ini di abad XVI—XVII juga menyatakan prinsip “laut bebas milik bersama” yang menentang monopoli dan privatisasi ruang laut seperti pada reklamasi, yang sayangnya kini telah menutupi sebagian besar pantai Losari.

3. 

Tanjungpinang dan Batam. 

Tanjungpinang dan Riau adalah kisah tentang pusat yang menjadi pinggiran, karena pembelahan dunia kolonial dengan Traktat London, 1824, oleh Inggeris dan Belanda. 

Sejak itu istilah “penyelundupan” dikenal. Menyeberangi Selat Singapura dan Selat Malaka, yang dulu adalah halaman di dalam kerjaan-kerajaan Melayu yang menyatu, sejak itu menjadi tindakan menyeberangi batas. Perjalanan Yang Dipertuan atau Yang Dipertuan Muda dari kota ke kota, sama dengan perjalanan dari pulau ke pulau. Apabila dalam Desawarnana kita membaca Hayamwuruk keliling dari desa ke desa dalam daratan yang sama, dalam Tuhfat al-Nafis kita membaca Sultan Riau bepergian dari kota ke kota dari pulau ke pulau. Hayamwuruk melintasi lembah dan gunung, sawah dan hutan—dan beberapa sungai, sedangkan para sultan di Riau melintasi selat dan teluk, arus dan ombak.

Banyak halaman kitab Tuhfat al-Nafis tampil sebagai ruang kelautan itu sendiri: di atasnya kapal-kapal lalu lalang, mengantar rakyat maupun pangeran dan sultan.  Gerakan yang tergambar kerap dan cepat, dengan kegesitan yang menyesuaikan dengan pasang surut dan perubahan angin laut. Kesastraan Tuhfat adalah kesastraan laut yang telah terkotakan. 

Batam adalah pengalaman berharga yang semoga lebih banyak diminati. Inilah kota industri pertama pasca-kemerdekaan yang direncanakan sejak awal, dengan kelebihan maupun kekurangannya. Ia adalah pengalaman Indonesia dalam perencanaan kota modern pertama oleh negara pasca Kebayorang Baru (1949).

Kekurangannya itu antara lain menyangkut air, yang sampai sekarang masih merupakan pergulatan tahunan penduduk dan penyelenggara pulau-kota itu, menyebabkannya tergantung pada air tadah hujan di dalam waduk-waduk. Ini keadaan yang melayangkan pikiran kita tentang kelestarian keadaan di lokasi IKN yang hampir serupa. Ketika pulau Bintan telah berkembang dengan kota Tanjungpinang selama berabad-abad, Pulau Batam ini hampir tidak berpenghuni, mungkin oleh sebab yang sama—yaitu kelangkaan air segar, kecuali oleh komunitas nelayan di beberapa pantainya, serta sedikit orang-orang Tionghoa Hakka yang bertani di punggung-punggung bukit di pedalaman pulau itu.  

Penduduknya meningkat pesat dari 6.000 pada tahun 1976 ketika ia mulai dicanangkan sebagai pusat pembangunan industri, menjadi kini hampir 1,2 juta, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang paling tinggi di Indonesia. Prestasi ekonomi-nya mengesankan, membuatnya layak disebut pahlawan, terutama ketika menyerap tenaga kerja hingga 250.000 jiwa dalam beberapa tahun pada pertengahan tahun 1990-an. Bagaimana kehidupan buruh di sana ada pada kisah Choiriyah. Ini adalah kota yang sejak berdirinya adalah kota buruh industri.

4. 

Banda Aceh

Sejarah Banda Aceh yang cemerlang di abad XVII di bawah Iskandar Muda dan Iskandar Thani memberikan pemahaman penting tentang perkembangan geo-politik dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Aceh juga merupakan pengalaman dan pelajaran penting tidak ternilai dalam pembangunan kembali pasca-bencana berskala besar. Saya menyaksikan secara langsung. 

Kopi bukanlah sekedar mitos tentang rasa. Warung Kopi adalah perkembangan penting dalam kota-kota kita. Ada yang lebih lama mengenalnya, seperti Aceh dan Pangkalpinang, ada yang baru belakangan ini saja mengenalnya, misalnya Banjarmasin. Kata almarhum Rosihan Anwar kepada saya  dulu, “… bedanya orang Jawa dengan kita di Sumatra, di Jawa sini kurang warung kopi.”

5. 

Bukittinggi. 

Bukitinggi dan Kotagadang melahirkan sejumlah nama penting dalam sejarah Indonesia: Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Rohana Koedoes, dan lain-lain. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Sumatra Barat selalu tinggi dibandingkan dengan banyak provinsi lain di Indonesia. “Sekola Raja”, yaitu sebuah sekolah guru (Kweekschool) di Bukittinggi adalah salah satu monumen penting. Pada awal tahun 2000-an kota ini memiliki satu dari hanya dua sekolah yang menerima siswa dengan austisme. Satunya lagi di Padang. Mereka ini pelopor dalam penerimaan siswa dengan autisme. Rohana Koedoes adalah pelopor pendidikan untuk perempuan. 

Kota Bukittinggi adalah kota tiga dimensi: orang dapat melihatnya dari bawah, atas, samping dan depan. Sebabnya adalah adanya suatu jaringan yang terbentuk dari dari jalan-jalan raya yang menyusuri lereng-lereng, dan jenjang-jenjang yang memintas vertikal untuk pejalan kaki. Bukittinggi digambarkan sangat indah di dalam memoir Bung Hatta. 

Secara umum kekurangan buku saya ini adalah tentang kota-kota Sumatra, sebuah pulau besar yang sebenarnya memiliki lebih banyak kota otonom dibandingkan Pulau Jawa. 

6. 

Kebun, Alun-alun, Taman dan Lapangan. 

Ruang terbuka publik pertama di Indonesia adalah sebuah kebun dengan buah-buahan, tempat orang yang singgah maupun lewat dapat makan dan minum secara cuma-cuma. Dulu disebut “parlak”, sekarang “perlak”  di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Kebun semacam itulah yang disebut diresmikan oleh raja Sriwijaya dalam Prasasti Talangtuwo, 23 Maret 684. 

Sejarah pertamanan Indonesia kemudian berkembang dengan alun-alun dalam berbagai bentuknya. Harap jangan hanya membatasi imajinasi pada alun-alun di Jawa saja, tetapi juga yang di Ternate, Bima, Madura, dan lain-lain.  Kemudian muncul taman, mulai dari taman kerajaan hingga taman bersama, halaman pura, dan kemudian, di awal abad ke-20, taman kota yang terbuka untuk rakyat, serta kebun raya dan kebun binatang. 

Lombok memiliki beberapa taman, misalnya Narmada, yang apabila di-rekonstruksi dengan benar dapat mengalahkan taman-taman air yang ada di Bali. Kemungkinan besar beberapa taman air di Karangasem dibangun oleh orang Lombok. 

Dari lebih dari 50 alun-alun di Jawa dan belasan lain di luar Jawa, hanya beberapa yang berarah mata angin utara selatan. Umumnya memiliki orientasi yang jelas ke gunung, sehingga seolah “menyimpang” dari arah mata angin dengan deklinasi yang tidak kecil. Alun-alun Kediri, mungkin salah satu yang tertua di Jawa, jelas menghadap ke gunung Wilis di barat. Masjid rayanya tidak menghalangi pandangan dari pendopo kabupaten ke gunung tersebut, sebab letaknya seperti sengaja mengalah, mengambil tempat di sudut barat daya alun-alun, bukan tepat di barat pada sumbu dari pendopo ke gunung Wilis tersebut.  

Seni taman Indonesia juga terbaca sangat visual di dalam naskah-naskah Jawa abad XIV—XV seperti Kakawin Sutasoma. Mereka sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam istana-istana raja. Taman Ratnalaya adalah tempat sinkretisme ditawarkan antara Buddhisme dan Hinduisme dalam wujud perkawinan antara Sutasoma dan Putri  Candrawati.

7. 

Banten dan Cirebon. 

Banten (lama) dapat dikatakan merupakan kota dengan tatanan Islam pertama yang dibangun mulai dari nol, di atas lahan kosong tanpa peninggalan tatanan ke-hindu-an sebelumnya. Alun-alun tentu mewarisi gagasan dari tatanan yang sudah dikenal lama sebelumnya. Namun, di sini masjid dibangun bersamaan sejak awal dengan alun-alun dan istana. 

Kini Serang adalah kota industri yang pekat dengan kehidupan perburuhan. Bersama dengan Batam, Serang seharusnya dikaji untuk menghasilkan dasar-dasar bagi perjalanan urbanisasi industrial Indonesia selanjutnya.

Cirebon adalah kota dengan beberapa keraton dan beberapa alun-alun. Ia menjadi salah satu obyek proyek perombakan alun-alun besar-besaran di Jawa Barat (dan beberapa di Jawa Tengah seperti Semarang). Disebut umumnya dengan istilah ‘revitalisasi’, entah didasari cukup atau tidak oleh pengetahuan tentang makna dan sejarah sosial-budaya bentuk dan pemanfaatan alun-alun.  Bagaimanapun ia mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam imajinasi kalangan elit pemerintah dan profesional, dan mungkin sebagian kelas menengah baru perkotaan.

8. 

Masjid

Kata HAMKA (H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo), di Jakarta orang mengupayakan yang paling besar; tetapi di Banjarmasin orang mendapatkan yang paling indah. HAMKA merujuk kepada Masjid Istiqlal di Jakarta dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Banjarmasin. Profesor Pirous menceritakan pengalamannya mengerjakan ragam hias untuk kedua masjid itu. Ini juga bagian dari sejarah “Decenta” yang bersejarah, suatu perusahaan yang didirikan oleh beliau dan kawan-kawan untuk memajukan seni grafis dan seni kriya, cikal bakal dari apa yang sekarang sering hanya disebut ‘design’

Variasi bentuk dan tata letak masjid tidaklah dapat disederhanakan menjadi hanya “di sebelah barat alun-alun”. Kenyataannya tidak selalu demikian. Variasi bentuk masjid di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa mencengangkan, dan sangat terkait dengan  tradisi, budaya, lingkungan serta kota setempat. Di pusat kota Palopo, masjid utama kota itu dibangun dengan dinding susunan batu setebal 90 sentimeter. Sejauh saya tahu, itulah satu-satunya masjid berdinding susunan batu tebal seperti candi di Indonesia. Sementara itu, para arkeolog belum lama ini telah menggali umpak Masjid Raya Plered (awal abad XVIII) yang berbentuk bundar. 

9. 

Banjarmasin

Banjarmasin memiliki irama kehidupan perkotaan sesuai irama pasang susut air. Ia terletak di dalam bentang alam yang disebut “Kawasan Sungai Pasang Surut (KASUPASUT).  Ia menghasilkan ilmu dan teknologi yang selaras dengan lingkungan, mulai dari jenis fondasi bangunan, teknik pertanian ‘surjan’—gabungan antara sawah dan palawija—yang memanfaatkan air pasang surut, perahu bernama jukung, dan teknik “menabuk dan melabur”. Yang terakhir itu berarti membentuk daratan kering tanpa mengurangi ruang untuk air, yaitu dengan cara menggali dasar rawa dan menimbunnya di sebelahnya sehingga membentuk daratan kering untuk pertanian, bangunan dan lain-lain. Terhadap hal ini, jargon “waterfront city” sungguh merupakan reduksi yang tidak dapat dihormati. Kearifan ini sekaligus melawan sesat-pikir ‘reklamasi’ yang mengurangi ruang air maupun tanah di tempat berbeda.

Banjarmasin memiliki bahasa campuran Jawa-Melayu yang tidak ada duanya. Karena itu, juga budayanya. Kemasyarakatan, yang salah satu cirinya adalah solidaritas dan kerja sama atau gotong royong, di Banjarmasin tampak pada banyak sekali perkumpulan swadaya masyarakat pemadam kebakaran.

Bab 10. 

Surakarta dan Yogyakarta

Baik Surakarta maupun Yogyakarta dirancang oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Berlainan dengan anggapan umum, sumbu kedua kota ini tidaklah mengarah kepada mata angin, melainkan kepada gunung-gunung, sehingga seolah menyimpang dari arah utara atau timur.  Ia menghasilkan tatanan yang merujuk kepada kosmologi sekaligus bersifat ktonik (mengacu kepada bumi).  Kedua kota memiliki banyak hal penting lain dalam sejarah perkotaan modern Indonesia. Surakarta memiliki taman kota untuk umum (bukan taman istana semata) yang pertama, pelopor stasiun radio (Gesang menjadi tenar antara lain karena penampilannya di radio), pelopor dalam fasilitas mandi cuci kakus untuk rakyat, dan lain-lain. Keluarga kerajaan telah menjadi salah satu penggerak utama modernisasi kota.  

Namun, kota-kota ini juga telah mengalami suburbanisasi yang mengkhawatirkan. Jumlah penduduk pusat-pusat kotanya berkurang secara absolut dalam sepuluh tahun terakhir, dibarengi dengan perluasan kawasan terbangun yang tidak terkendali. Bersamanya muncul gaya hidup baru di pinggir-pinggir kota, suburbs, antara lain ditandai oleh meningkatkan jumlah hewan kesayangan di rumah-tangga rumah tangga muda.

Suatu peta dari masa penerus Sultan Agung, yaitu Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I  (atau Susuhunan Ingalaga, memerintah tahun 1646-1677) memberikan teka teki menarik berupa konsep ibukota yang sama sekali berbeda dengan Yogya maupun Surakarta sekarang. Keseluruhannya tampak sebagai suatu kota taman air dengan banyak kolam tersebar, yang dikelilingi bukan oleh tembok buatan, melainkan tebing alam Pegunungan Sewu di timur dan tenggara, serta perbukitan buatan di sisi-sisi lainnya.  

Baik dalam hal kuno maupun kontemporer, Yogyakarta dan Surakarta masih menawarkan pelajaran dan teka-teki yang layak dipelajari untuk memandu kita memasuki masa depan.

Bab 11. Candi

Meskipun relief candi memaparkan narasi dari kitab-kitab India, unsur-unsur visual di dalamnya, misalnya fauna dan flora, motif hiasan, pakaian, arsitektur dan bentang alam, dipercayai sungguh-sungguh menggambarkan keadaan nyata di masanya. Kajian keruangan Candi telah dimulai pada skala arsitektur dan tata letak bangunan oleh Almarhum Prof. Parmono Atmadi, disusul kemudian oleh kajian alm. Prof Mundardjito tentang perletakan candi di dalam bentang alam sebagian Dataran Kedu, dan belakangan diperluas lagi oleh Veronique Degroot. Mereka menerangkan orientasi yang kuat, bukan terutama kepada mata angin, tetapi terhadap air dan gunung. Hampir semua candi berada tidak lebih dari 500 meter dari sungai. Cikal bakal kota-kota kita pun sama: dekat sungai. Dalam keadaan sekarang: dilalui sungai.  

Sandra Sardjono melacak perkembangan motif batik, antara lain kawung, mulai dari Candi Sewu hingga Zaman Singosari. Kreativitas Jawa mengembangkannya dari pola dasar roundel yang berasal dari Persia yang sampai ke Indonesia melalui Dinasti Tang (abad VIII hingga X).

Tatanan tiga ruang pura-pura Bali, yang kemudian menjadi salah satu dasar seni taman Bali, bukan saja telah ada akarnya pada Candi Penataran, tetapi bahkan lebih awal pada Candi Ijo dekat Ratuboko, juga dari abad VIII hingga X. 

Bab 12. 

Cakranegara dan Trowulan

Di Puri Cakranegara ini, yang sekarang merupakan sebuah kecamatan dalam Kota Mataram, Lombok, ditemukan pertama kalinya salinan lontara Kakawin Desawarnana pada tahun 1894, hampir 530 tahun setelah diselesaikan oleh Mpu Prapanca.  Sejak itu orang sibuk meneliti Majapahit dan ibukotanya, Trowulan, yang diuraikan rinci di dalam Pupuh 8-13 kakawin tersebut.  Spekulasi tentang tatanan Trowulan berlangsung hingga kini, meskipun tampaknya makin memperoleh sosok yang pasti, setelah orang menemukan kembali pada tahun 2009 sebuah peta arkeologis yang dibuat atas perintah Rafless pada awal abad XIX. 

Padahal, Cakranegara itu sendiri merupakan contoh yang hingga kini dapat dikatakan utuh sebagai suatu kota dengan tatanan Hindu yang sangat jelas. Ia bukan saja penerapan begitu saja tatanan keruangan Hindu-Bali, tetapi juga menyesuaikannya dengan hal-hal praktis keadaan sekitar, utamanya kemirangan tanah dan aliran air, serta tentu saja Gunung setempat, Rinjani.

Bab 13. 

Lasem dan Pegunungan Kendeng Utara. 

Lasem kini dianggap kota dengan warisan arsitektur Tionghoa paling dominan. Namun, ia bukan kota yang dibangun sejak awal oleh orang Tionghoa—yang demikian itu, menurut catatan Mahuan pada tahun 1430-an, adalah Gresik. Pecinan memang terdapat di hampir semua kota pesisir dan sebagian kota pedalaman (misalnya Bukittinggi, Malang dan lain-lain) di Indonesia. Ini menunjukkan peran orang Tionghoa dalam membangun bukan saja kota, tetapi kekotaan, di Indonesia, jauh sebelum kedatangan orang Eropa. Salah satu kuncinya: mereka tidak membangun benteng memagari permukimannya, dan tradisi kekotaannya yang tua (beberapa ribu tahun) telah memberikan intuisi untuk memastikan hak atas tanah dan bangunan yang permanen. Perdagangan mereka bukan hanya ekspor-impor, tetapi juga melayani kebutuhan sehari-hari warga perkotaan tempatan, termasuk warung dan restoran serta rokok kretek.

Batik Lasem, bersama dengan Batik Tuban dan sekitarnya yang terkenal itu, sangat tergantung kepada Pegunungan Kendeng Utara untuk air yang berkandungan kapur yang tinggi. Produk kreativ tidaklah dihasilkan dari nol atau gagasan semata, melainkan memiliki basis materialnya dari alam. Pelestarian pusaka budaya tidak dapat dipisahkan dari pelestarian alam. 

Bab 14. 

Surabaya. 

Saya menggambarkan perkembangan kota Surabaya melalui pembacaan atas peta dari zaman-zaman berbeda. Ini juga berarti suatu kisah tentang sejarah grafis pemetaan, termasuk bias dan teknik yang tersedia pada masing-masing zaman.

Surabaya adalah juga kisah tentang kota industri pertama di Indonesia, yang dimulai dengan industri angkatan laut oleh Daendels, dan berkembang hingga mampu membuat ketel-ketel mesin uap di awal abad XX atau bahkan mungkin akhir abad XIX. 

Pada surabaya kita juga dapat mempelajari bagaimana keterlambatan keputusan tentang peningkatan pelabuhan membuat Surabaya yang semula merupakan kota terbesar di Hindia Belanda menjadi kota nomor dua setelah Batavia. 

Di Surabaya kita juga menyaksikan kegiatan awal Sarikat Islam membela penyewa tanah.

Di Surabaya kita juga menemukan asal usul penolakan teknokratis-birokratis kota terhadap pedagang kaki lima pada masa pasca PD I.  Sikap kolonial yang dipelopori oleh Thomas Karsten ini masih melekat di sebagian penyelenggara kota-kota kita maupun para teknokratnya hingga sekarang.

15. 

Rumah: Kampung, Kota. 

Satu-satunya upaya sukses dalam perumahan rakyat sepanjang sejarah Indonesia hingga kini adalah melalui Yayasan Kas Pembangunan, yang berasaskan iuran anggota dan memanfaatkan tanah pemerintah. Yayasan ini hampir dilupakan karena runtuh oleh hiperinflasi di tahun 1960-an. Satu-satunya yang masih bertahan ada di Surabaya, yang kini menjadi kasus hukum karena diduga terjadi korupsi. Aset pemerintah kota Surabaya pada Yayasan itu kini bernilai 60 Triliun. 

Pada tahun 1930 sudah ada orang bernama Flieringa menulis disertasi doktor tentang sejarah perumahan di Hindia Belanda. Perhatian besar dimulai oleh Tillema yang 15 tahun sebelumnya telah memaparkan secara rinci keadaan permukiman di Hindia Belanda, dalam enam volume bukunya “Kromoblanda”. 

Sayangnya, sistem kolonial tidak memungkinkan perubahan progresif yang sungguh-sungguh, bahkan tidak menerapkan sistem perumahan sosial yang sudah berkembang baik di Belanda dan Jerman di masa itu.

Padahal, di awal abad XX itu di Semarang misalnya terdapat pasa sosialis yang sangat progresif seperti anggota dewan kota Tillema dan Westerveld yang mendahului arsitek Thomas Karsten yang baru tiba pada tahun 1914. Apakah terobosan seperti di Kampung Akuarium akan mengubah sejarah nasional perumahan? Mungkin kita perlu menunggu tahun 2024.

16. 

Herman Thomas Karsten.

Thomas Karsten berjasa menyusun Stadsvorving Ordonantie, yang diterjemahkan menjadi UU Pembentukan atau Pembangunan Kota. Maknanya yang mendasar kurang lebih sama: kota itu berbentuk, dan bentuk mempunyai relasi timbal balik dengan makna dan tujuan sosial-budaya. Undang-undang ini disusun pada tahun 1937/8, tetapi baru digunakan pada tahun 1946/47 di masa Republik Indonesia Serikat ketika Belanda membangun kembali kota-kota pasca PDII, di wilayah Negara Indonesia Timur, dan ketika merencanakan Kebayoran Baru. pada tahun 1949. Selanjutnya ia diterima sebagai undang-undang yang berlaku di dalam Republik Indonesia sejak 1950, sampai ia dicabut dengan berlakunya UU Penataan Ruang tahun 1992.  Yang ada sejak 1992 hingga sekarang adalah UU Penataan Ruang. Bentuk—yang melekat pada makna dan maksud tujuan sosial budaya—tidak lagi menjadi perhatian utama. Ruang kota menjadi fragmen-fragmen “guna” yang bernilai ekonomi, dan mudah dikapitalisasi. Kemudian sibuk dipinjam istilah Urban Design Guidelines bergaya Amerika yang kemudian diterjemahkan menjadi Panduan Rancang Kota yang, karena dasarnya adalah UU tata ruang itu, maka juga tidak melekatkan banyak tujuan sosial-budaya, melainkan melekatkan keindahan pada ruang ekonomi. Sekarang tidak ada UU Perkotaan, tetapi malah ada UU Perdesaan, padahal penduduk perkotaan melampaui 56 % dari keseluruhan penduduk. 

Pada tahun 1937 Karsten mengatakan bahwa “selambatnya 20 tahun dari sekarang”—berarti tahun 1957— jalan kereta api di Gambir sudah harus diangkat di atas jalan raya. Hal itu baru terwujud pada akhir tahun 1980-an, setelah mulai dibangun pada tahun 1986. 

17. 

Soesilo dan Kebayoran Baru. 

Rancangan Soesilo untuk Kebayoran Baru mengantar kepada perdebatan sangat substantif dengan Prof. van Romondt tentang warisan budaya berkota Indonesia, terutama Jawa, dan antisipasi atau visi ke depan. 

Surat jawaban Soesilo kepada van Romondt sejumlah 11 halaman ketik saya terjemahkan dan sertakan hasilnya di dalam buku ini, bersama terjemahan beberapa naskah penting serta menarik lainnya, seperti misalnya naskah tahun 1925 berupa laporan kaukus anggota volksraad pribumi pimpinan M. H. Thamrin yang berisi adviesnya tentang bagaimana memperbaiki kampung, yaitu dengan antara lain dibentuk ‘dewan kampung’ (kampongsraad).

Riwayat hidup Soesilo juga penting sebagai tokoh kelas menengah pribumi yang harus menghadapi rasialisme kolonial di masa itu. Soesilo adalah pejabat Kepala Dinas Pembangunan Kota dan Pengawasan Pembangunan di Jakarta di masa Jepang, pangkat tertinggi seorang Pribumi langsung di bawah walikota seorang Jepang.

18. 

Bandung.

Bandung memiliki sejarah intelektual arsitektur dan kajian perkotaan yang pekat. Di sini almarhum Prof. Sandi Siregar pada tahun 1980-an memulai tradisi kajian arsitektur yang disebut analisis tipomorfologi yang hingga kini melembaga sebagai suatu metoda minimal dalam membahas perkembangan bentuk kota dalam disiplin arsitektur. Penulisan populer tentang kota dapat dikatakan juga dimulai di Bandung oleh Haryoto Kunto di akhir tahun 1970-an. 

Bandung menikmati booming pertama pembangunan berkat kemakmuran hasil perkebunan. Kota ini, baik dulu maupun sekarang, merupakan salah satu kota dengan jumlah profesional arsitektur dan perencanaan kota terbanyak di Indonesia, sesudah Jakarta.

19. 

Warga. 

Kesadaran warga, bahwa nasib kota menentukan kehidupannya, dan bahwa nasib itu berada di tangannya, meningkat sangat pesat selama dua puluh tahun lebih sejak 1998. Ini adalah hasil desentralisasi, otonomi dan kebebasan yang nyata, yang masih kurang dilihat secara terpisah dari keseluruhan politik demokratisasi Indonesia. Namun, harus diakui belakangan ini makin banyak para ahli ilmu sosial melihatnya demikian. 

Saya sendiri mengamati dengan mudah perkembangan ini, karena menyangkut hampir seluruh hidup profesional saya sejak 1990. Selain saya sendiri, dulu agak sulit mencari “komentator” masalah-masalah perkotaan. Sekarang banyak sekali. Ini baik sekali. 

Perkembangan penetrasi internet dan sosial media merupakan gejala yang akan menyertai perkembangan keberdayaan warga di masa depan, bersama dengan pengorganisasian dan pendalaman kebijakan publik yang makin tajam dan argumentatif.  

Namun, bagaimana kita dapat menyongsong bumi yang sedang mendidih? 

Untuk pertanyaan yang banyak jawaban masih dinantikan itu, saya mengingatkan salah satu hal yang bagi saya sangat penting dari proses menyusun buku ini: Bahwa manusia harus berbagi ruang dan sumber daya bersama spesies-spesies lain, sekarang dan nanti, yang juga sangat tergantung dan karena itu selalu membangun habitatnya di dekat aliran air. Air hanya baik kalau seluruh lingkungan baik. Kalau kita menjadikan kualitas air sebagai tujuan, maka dengan sendirinya seluruh lingkungan harus diperbaiki. Kita harus lebih banyak membangun commons, dan mengupayakan keadilan dan kolektivitas seluas dan sejauh mungkin. Mandala sembilan ruang Bali ini, Dewata Nawa Sanga,  dapat membantu kita memetakan persoalan dan mengambil tindakan.  

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

2 Responses to “Kota-kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak”

  1. Mas Marco Kusuma Wijaya

    saya baru beli bukunya! Luar biasa bagus sekali ! akan saya nominasikan untuk mendapatkan IAI award tahun 2024 ini !

    Terima kasih

    Budi Pradono

    Sent from my iPhone

    >

    Like

Leave a comment