“Jangan sekali-kali menganggap Uber, Grab Car, Gojek dan Grab Bike di Jakarta sebagai sharing economy….” oleh Elisa Sutanudjaja

(Saya mengutip tulisan Elisa Sutanudjaja ini karena ini tulisan lebih baik dari yang lain-lainnya, karena lebih banyak mengandung informasi dan lebih benar mendudukkan perkaranya. Tulisan diambil dari status FB Elisa Sutanudjaja. Klik di sini.)

‪#‎KenaliJakarta‬ edisi ‪#‎sharingwashing‬

Jangan sekali-kali menganggap praktik Uber, Grab Car, Gojek dan Grab Bike di Jakarta sebagai sharing economy apalagi ride-sharing (makin jauh kelaut lagi untuk kasus Jakarta).
Sharing economy adalah prinsip penggunaan aset yang tidak sedang digunakan, tanpa harus bergantung 100% pada utilisasi aset tersebut.
Yang namanya sharing economy tidak mengenal subsidi Venture Capital demi memurahkan harga hingga akhirnya mematikan saingan/kanibalisasi. Venture Capital mah jenis kapitalisme global, jauh dari prinsip kerakyatan sharing economy.
Ride sharing, gampangnya, adalah, ‘kamu dan saya sama-sama mau jalan dari Grogol ke Sudirman, yuk saya numpang untuk turun di Benhil’.
100% supir taksi Express pengguna jasa Grab Taxi (dalam hal ini Grab Taxi sebagai aplikasi, bukan sebagai sistem ekonomi) yang saya tumpangi tidak tahu kalau Grab suatu saat bisa menghentikan insentif pengemudi dan nantinya malah mereka akan dikenakan biaya. Begitu juga dengan supir-supir Uber, tidak tahu bahwa ada VC yg selama ini subsidi untuk mereka.

Di tahun 2014, saya sempat memuji Uber karena pengalaman saya naik Uber di Amerika bertemu dengan pengemudi paruh waktu yang merasa diuntungkan demi mendapatkan penghasilan tambahan. Pernah dapat mahasiswa dan imigran yg semuanya berusaha mencari tambahan demi bisa bertahan hidup di Boston dan NYC. Disini tidak demikian. Kalau saya scroll daftar sejarah ng-Uber saya (bisa diatas 50 mungkin?), jangan-jangan hanya 15% yg benar paruh waktu dan murni memanfaatkan prinsip sharing economy. Sisanya jadi supir untuk kartel Uber (pemilik 5-6 mobil) dan orang-orang2 yg mencicil mobil (eks supir taksi berpengalaman) yang menjadikan narik Uber sebagai karir dan mata pencaharian. Jika subsidi dan insentif dicabut yang berakibat pada kenaikan harga sehingga hilangnya pelanggan, si 15% bisa jadi tidak merasakan pengaruh yang besar. Tapi bagaimana dengan supir2 yang baru menyicil 5x dari total 60x cicilan? Atau bagaimana nasib supir tembak Uber yg menggantungkan hidup disitu.

Jika awal tahun 2000an kita mengenal periode greenwashing, maka sekarang kita mengenal sharingwashing.

Btw, ini panjang banget, bisa dikategorikan sebagai #KenaliJakarta edisi #sharingwashing

Perlu dikasih disclaimer gak kalau saya nulis begini bukan berarti saya setuju dengan cara bisnis kartel perusahaan taksi di Jakarta? Edisi lainnya juga mungkin berbicara bahwa taksi itu bukan moda transportasi umum. Taksi adalah moda yang kerap disebut sebagai private commercial transport, jangan pernah samakan taksi dengan bus, jadi sampai kiamat juga gak bakal ada perusahaan taksi mendemo perusahaan bus jika nanti suatu saat (entah di jaman anak atau cucu saya) transportasi umum Jakarta membaik.

Dan terima kasih juga dengan komentar2 teman-teman saya di status soal Uber di thn 2014-2015 yang ikut memperkaya cara pandang saya, seingat saya salah satunya Armely Meiviana (smile emoticon).

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

4 Responses to “Jangan sekali-kali menganggap Uber, Grab Car, Gojek dan Grab Bike di Jakarta sebagai sharing economy….” oleh Elisa Sutanudjaja

  1. Natalia says:

    Grab car juga semakin hari kebijakannya semakin membuat drivernya yg disebutnya sbg mitra semakin tertindas dengan kebijakan kebijakan barunya. Garansi tarif semakin hari tambah turun dan mendapatkannya harus dengan aturan pihak Grab seperti harus 2 trip dalam waktu 2 jam (jam 4 sore sampai jam 6 sore), kemungkinannya sangat kecil kecuali dapat penumpang jarak dekat karna kondisi Jakarta macet bangetttttttt, jam 6 sore sampai jam 8 malam juga harus 2 trip baru dapat bonus selisih harga garansi tarif. Artinya kalau cuma dapat masing masing 1 trip tidak dapat yg namanya itu bonus/selisih garansi tarif, kalau pun kita berhasil dapat bonus tersebut masih di potong lagi 20 persen sama pihak Grab, gilaaaaaaa kan?……belum lagi rating pengemudi hrs di atas 4,5, Cancel max 30 persen dan penerimaan hrs diatas 85 persen, salah satu aja tdk terpenuhi hangusssss semua atau zonk yg kita dapatkan. Sekarang Sdh banyak mitra Grab yg pindah dan bergabung ke Uber dan Gocar krn kebijakan2 Grab yg semakin hari semakin merampas hak dan pendapatan para mitra/driver. saat ini pelan tapi pasti Grab car akan ditinggalkan para driver2 yg disebutnya mitra itu, krn hanya dijadikan sapi perah oleh pihak Grab.

    Like

  2. greatgan says:

    mereka slalu bilang kalau pengemudi itu “partner” tapi pada praktek-nya semua kebijakan di jalankan sepenuh-nya sepihak dari perusahaan.mereka bisa menentukan apa saja, tanpa konsultasi terhadap “partner” mereka. uber saat ini di beberapa kota amerika sendiri sudah menerapkan fare yg terlalu rendah dengan mengambil komisi yg terlalu tinggi.

    Liked by 1 person

  3. Pingback: Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan Online – Trivialitas

  4. Pingback: Menimbang Azas Keadilan Dari Moda Transportasi | abirekso

Leave a comment