“Kota-kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak”

Pengantar Peluncuran Buku

15 Agustus 2023

Goethe Institut, Jakarta.

Selain kepada yang tercantum di halaman terakhir buku, pada kesempatan ini saya ingin juga mengucapkan terima kasih kepada:

  • Goethe Institut, yang telah bermurah hati dan sabar mendukung kegiatan malam ini, dan banyak kegiatan kami sebelumnya.  
  • Para pemesan edisi khusus yang telah memungkinkan edisi biasa terwujud dengan tampilan dan daya tahan prima pada harga terjangkau.
  • Tentu saja kepada semua pembaca, edisi apapun, dan para hadirin semua senja ini: Terima kasih atas perhatiannya.
  • Kepada tamu kehormatan kita malam ini, saya ucapkan selamat datang dan terima kasih telah meluangkan waktu dari jadwal yang padat, dan untuk sambutan yang akan disampaikan nanti.

Buku ini bukan tentang bagaimana merencanakan kota; melainkan pengetahuan tentang kota dan tentang perencanaan kota itu sendiri, dan sepenuhnya mengambil kota Indonesia sebagai subyek dan sumber pengetahuan, setidaknya sebagai jendela ke pengetahuan-pengetahuan yang lain. Ia mulai dari Indonesia, tetapi Indonesia tidak selalu mulai dari dalam Indonesia, dan mungkin Indonesia juga bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk pemahaman kota di luarnya.

Motivasi ini sama dengan ketika saya bersama teman-teman mendirikan Rujak Centre for Urban Studies. Kami merasa ada “too much planning, too little knowledge”. Karena itu, tidak heran perencanaan kota kita sering mulai dengan kesalahan ontologis dan epistemologis. Sulit menyalahkan para perencana dan perancang, karena memang tidak tersedia pengetahuan untuk mereka. Buku ini bukan kritik terhadap mereka, melainkan tawaran asupan untuk mereka dan semua orang yang peduli.

Keadaan akhir-akhir ini telah menambah jelas sebab-sebab saya menulis buku ini. Kita diberitahu belakangan ini beberapa hal telah “salah rancang/design”. Ada juga yang “terlupakan direncanakan”. Bilapun ada perencanaan, hanya diberi waktu “enam bulan” dan bahkan suatu sayembara rencana induk sebuah kota penting hanya memberi waktu “dua minggu” kepada para peserta. Hal-hal ini memang bukan hanya terjadi belakangan ini. Sejak tahun 1980 saya telah cukup sering keheranan tentang cacat-cacat perencanaan di Indonesia. Pada tahun 1990-an saya diberitahu bahwa masalah hunian terjadi di sebuah kota industri karena tidak direncanakan hunian untuk para pekerja di dalam rencana induknya. Namun, bahwa hal-hal semacam itu masih terjadi hingga akhir-akhir ini, rasanya membenarkan kekhawatirkan bahwa “terlalu banyak perencanaan, terlalu sedikit pengetahuan” masih berlaku.

Perbandingan material akhir yang tampak semata, tanpa mendalami konteks yang mengandung pikiran, gagasan, institusi dan lain-lain yang turut menghasilkan yang material akhir itu, telah melahirkan apa yang ingin saya sebut “materialisme banal’. Perkembangan kota-kota kita tampaknya telah menyumbang banyak kepada materialisme banal itu: taman sekedar menyenangkan mata tanpa makna, prasarana tanpa sarana bagi komunitas sekitar, tempat-tempat wisata yang “seperti di X dan Z”, dengan titik pandang yang ditandai untuk ambil gambar, jembatan atau bangunan lainnya yang “tidak mengumpulkan” makna eksistensial (dalam maksud Heidegger dalam Bauen Wohnen Denken), dan seterusnya.

Namun, mungkin saja libertarianisme (neo-liberalisme), selain telah mencapai puncak-puncak gedung-gedung tertinggi di banyak kota, juga telah menyelam dalam pada benak-benak paling berpendidikan sekalipun. Kalau ini benar, kota-kota kita akan memerlukan para cendekiawannya bekerja keras dalam tahun-tahun mendatang.

Ditambah pula, dengan kecenderungan dua hingga tiga dasawarsa mendatang kota-kota Indonesia akan memasuki gelombang pembangunan yang makin besar. Bersamanya datang krisis bumi mendidih yang makin kuat dan mendesak, makin terasa dampaknya pada perasaan sehari-hari, pada kulit kita, pada nafas kita, pada semua dan seluruh indera kita. Peningkatan pengetahuan dan analisis akan tantangan masa depan berlomba dengan pendalaman pengetahuan dan analisis tentang pengalaman masa lalu dan lingkungan terdekat. Semoga buku “Kota-kota Indonesia: Pengantar Orang Banyak” ini masih sempat berperan sebagai pengantar. Berikut ini izinkan saya sampaikan sekadar beberapa sorotan. 

Pendahuluan 

Sensus di Hindia Belanda telah dilakukan sejak tahun 1920. Namun yang dianggap dapat dipercayai adalah yang sejak tahun 1930. Itulah sebabnya sekarang kita dapat mengamati berbagai hal dalam suatu rentang data yang cukup panjang, hingga hampir seratus tahun. Rafless juga menghitung penduduk Jawa-Madura pada awal abad ke-19. Tetapi kini diketahui perkiraannya tentang penduduk desa Jawa meleset, karena asumsinya yang bias. Desa jauh lebih banyak daripada yang dikiranya berdasarkan perspektif Eropa. Kini kita dapat melihat bukan saja dinamika terdata hal-hal demografis, tetapi juga dinamika ekonomi dan perubahan iklim dalam rentang 100 tahun. Dalam banyak hal lain, termasuk kota yang melekat pada bentang alamnya, kita memperoleh pula perspektif yang makin panjang dan makin panjang ke masa lalu, yang meningkatkan kemampuan kita melihat masa kini lebih jernih, dan melihat ke masa depan yang makin jauh pula. 

1. Ternate

Ternate memiliki kesempatan kedua. Ternate adalah kesempatan kedua Indonesia. Kesempatan pertamanya adalah rempah, yang oleh penyair Inggeris abad XVII, John Milton, disebut “spicy drugs” dalam karyanya The Paradise Lost. Rempah adalah bahan bakar kapitalisme perdagangan abad XVI — XVIII. Kini globalisasi ekonomi memerlukan nikel untuk batere, yang esensial untuk proses transisi ke energi terbarukan, setidaknya selama 20 tahun ke depan, sebelum teknologi baru yang tidak memerlukannya ditemukan.

Alfred Russel Wallace pada 22 Oktober 1858 memberitahu Sultan Bacan tentang demam emas di Australia, dengan maksud memperingatkan beliau tentang kedatangan orang-orang serakah dalam jumlah besar. Namun rupanya beliau salah paham, dan malah berseru “Oh, seandainya saja kami punya orang-orang seperti itu, pasti negeri saya sudah sama kayanya!”. 

Sedangkan Alfred Russel Wallace melihat kekayaan lain dari Malay Archipelago ini.  Pada tahun yang sama itu, dari Ternate Wallace mengirimkan surat yang kemudian disebut the Letter from Ternate atau the Ternate Essay kepada Charles Darwin, meminta pendapat beliau tentang gagasannya menyangkut ‘mechanism of natural selection’. Darwin menjawab, “Anda telah menguraikan secara paling ringkas apa yang juga saya pikirkan”. Pada tahun 1859, Darwin menerbitkan buku On the Origin of Species

Frederik Sigismund Alexander de Clercq, Residen Ternate dalam masa Desember 1884—Agustus 1888, mengungkapkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia gagasan untuk melakukan pelestarian spesies, dengan cara membatasi penangkapan burung dan lain-lain. Burung, dan hewan-hewan lainnya, adalah kelangenan eksotisme Eropa lainnya.

2. 

Makassar, Sulawesi Selatan. 

Orang Bugis adalah salah satu perantara yang membawa rempah dari Maluku ke barat. ‘Peta Bugis’ dari tahun 1820 merupakan bukti diaspora orang Bugis membentuk pusat permukiman, perkebunan, kota dan bahkan negara hingga ke Semenanjung Melaka. Ketika Rafless memilih Singapura sebagai pos kolonialismenya, komunitas pedagang Bugis yang telah berakar di sana sangat mungkin adalah salah satu pertimbangannya. Ia bukan pendiri Singapura dari nol.  

Kehadiran orang Bugis di Kawasan Melayu ini membuat terkenal tradisi kepemerintahan dan kepemimpinan yang melembagakan “aliansi” Melayu-Bugis: Raja dan Raja Muda. Raja Ali Haji, penulis Tuhfat Al-Nafis  yang membakukan tata bahasa Melayu yang kemudian bercabang menjadi Bahasa Indonesia dan Malaysia, adalah keturunan para raja muda Bugis. 

Budaya politik Bugis, yang antara lain menghasilkan tradisi “aliansi” ini, tidak berasal dari proses Indianisasi (Hindunisasi) seperti di Jawa dan Sumatra. Ketika pengaruh Hindu datang, orang Bugis telah memmiliki sistem yang berkembang dari dalamnya sendiri. Pertanyaan tentang siapa pahlawan, Hasanuddin atau Arung Palaka, perlu mempertimbangkan sejarah aliansi Gowa-Tallo’ (Makassar).

Budaya politik egaliter Bugis berasal dari masyarakat petani Sulawesi Selatan yang sejak lama sebelum kedatangan orang Eropa  sudah ekspor beras.  Sulawesi Selatan  memiliki beberapa kota-kota kecil pusat pertanian beras yang masih perlu dipelajari, terutama dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, misalnya kedua danau Sidenreng dan Tempe di tengah-tengah kaki selatan Pulau Sulawesi itu. Kehadiran masyarakat mereka dengan kelaziman pemimpin perempuan telah dilaporkan pengelana Austria, Ida Pfeiffer, pada tahun 1856. Kebudayaan ini di abad XVI—XVII juga menyatakan prinsip “laut bebas milik bersama” yang menentang monopoli dan privatisasi ruang laut seperti pada reklamasi, yang sayangnya kini telah menutupi sebagian besar pantai Losari.

3. 

Tanjungpinang dan Batam. 

Tanjungpinang dan Riau adalah kisah tentang pusat yang menjadi pinggiran, karena pembelahan dunia kolonial dengan Traktat London, 1824, oleh Inggeris dan Belanda. 

Sejak itu istilah “penyelundupan” dikenal. Menyeberangi Selat Singapura dan Selat Malaka, yang dulu adalah halaman di dalam kerjaan-kerajaan Melayu yang menyatu, sejak itu menjadi tindakan menyeberangi batas. Perjalanan Yang Dipertuan atau Yang Dipertuan Muda dari kota ke kota, sama dengan perjalanan dari pulau ke pulau. Apabila dalam Desawarnana kita membaca Hayamwuruk keliling dari desa ke desa dalam daratan yang sama, dalam Tuhfat al-Nafis kita membaca Sultan Riau bepergian dari kota ke kota dari pulau ke pulau. Hayamwuruk melintasi lembah dan gunung, sawah dan hutan—dan beberapa sungai, sedangkan para sultan di Riau melintasi selat dan teluk, arus dan ombak.

Banyak halaman kitab Tuhfat al-Nafis tampil sebagai ruang kelautan itu sendiri: di atasnya kapal-kapal lalu lalang, mengantar rakyat maupun pangeran dan sultan.  Gerakan yang tergambar kerap dan cepat, dengan kegesitan yang menyesuaikan dengan pasang surut dan perubahan angin laut. Kesastraan Tuhfat adalah kesastraan laut yang telah terkotakan. 

Batam adalah pengalaman berharga yang semoga lebih banyak diminati. Inilah kota industri pertama pasca-kemerdekaan yang direncanakan sejak awal, dengan kelebihan maupun kekurangannya. Ia adalah pengalaman Indonesia dalam perencanaan kota modern pertama oleh negara pasca Kebayorang Baru (1949).

Kekurangannya itu antara lain menyangkut air, yang sampai sekarang masih merupakan pergulatan tahunan penduduk dan penyelenggara pulau-kota itu, menyebabkannya tergantung pada air tadah hujan di dalam waduk-waduk. Ini keadaan yang melayangkan pikiran kita tentang kelestarian keadaan di lokasi IKN yang hampir serupa. Ketika pulau Bintan telah berkembang dengan kota Tanjungpinang selama berabad-abad, Pulau Batam ini hampir tidak berpenghuni, mungkin oleh sebab yang sama—yaitu kelangkaan air segar, kecuali oleh komunitas nelayan di beberapa pantainya, serta sedikit orang-orang Tionghoa Hakka yang bertani di punggung-punggung bukit di pedalaman pulau itu.  

Penduduknya meningkat pesat dari 6.000 pada tahun 1976 ketika ia mulai dicanangkan sebagai pusat pembangunan industri, menjadi kini hampir 1,2 juta, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang paling tinggi di Indonesia. Prestasi ekonomi-nya mengesankan, membuatnya layak disebut pahlawan, terutama ketika menyerap tenaga kerja hingga 250.000 jiwa dalam beberapa tahun pada pertengahan tahun 1990-an. Bagaimana kehidupan buruh di sana ada pada kisah Choiriyah. Ini adalah kota yang sejak berdirinya adalah kota buruh industri.

4. 

Banda Aceh

Sejarah Banda Aceh yang cemerlang di abad XVII di bawah Iskandar Muda dan Iskandar Thani memberikan pemahaman penting tentang perkembangan geo-politik dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Aceh juga merupakan pengalaman dan pelajaran penting tidak ternilai dalam pembangunan kembali pasca-bencana berskala besar. Saya menyaksikan secara langsung. 

Kopi bukanlah sekedar mitos tentang rasa. Warung Kopi adalah perkembangan penting dalam kota-kota kita. Ada yang lebih lama mengenalnya, seperti Aceh dan Pangkalpinang, ada yang baru belakangan ini saja mengenalnya, misalnya Banjarmasin. Kata almarhum Rosihan Anwar kepada saya  dulu, “… bedanya orang Jawa dengan kita di Sumatra, di Jawa sini kurang warung kopi.”

5. 

Bukittinggi. 

Bukitinggi dan Kotagadang melahirkan sejumlah nama penting dalam sejarah Indonesia: Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Rohana Koedoes, dan lain-lain. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Sumatra Barat selalu tinggi dibandingkan dengan banyak provinsi lain di Indonesia. “Sekola Raja”, yaitu sebuah sekolah guru (Kweekschool) di Bukittinggi adalah salah satu monumen penting. Pada awal tahun 2000-an kota ini memiliki satu dari hanya dua sekolah yang menerima siswa dengan austisme. Satunya lagi di Padang. Mereka ini pelopor dalam penerimaan siswa dengan autisme. Rohana Koedoes adalah pelopor pendidikan untuk perempuan. 

Kota Bukittinggi adalah kota tiga dimensi: orang dapat melihatnya dari bawah, atas, samping dan depan. Sebabnya adalah adanya suatu jaringan yang terbentuk dari dari jalan-jalan raya yang menyusuri lereng-lereng, dan jenjang-jenjang yang memintas vertikal untuk pejalan kaki. Bukittinggi digambarkan sangat indah di dalam memoir Bung Hatta. 

Secara umum kekurangan buku saya ini adalah tentang kota-kota Sumatra, sebuah pulau besar yang sebenarnya memiliki lebih banyak kota otonom dibandingkan Pulau Jawa. 

6. 

Kebun, Alun-alun, Taman dan Lapangan. 

Ruang terbuka publik pertama di Indonesia adalah sebuah kebun dengan buah-buahan, tempat orang yang singgah maupun lewat dapat makan dan minum secara cuma-cuma. Dulu disebut “parlak”, sekarang “perlak”  di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Kebun semacam itulah yang disebut diresmikan oleh raja Sriwijaya dalam Prasasti Talangtuwo, 23 Maret 684. 

Sejarah pertamanan Indonesia kemudian berkembang dengan alun-alun dalam berbagai bentuknya. Harap jangan hanya membatasi imajinasi pada alun-alun di Jawa saja, tetapi juga yang di Ternate, Bima, Madura, dan lain-lain.  Kemudian muncul taman, mulai dari taman kerajaan hingga taman bersama, halaman pura, dan kemudian, di awal abad ke-20, taman kota yang terbuka untuk rakyat, serta kebun raya dan kebun binatang. 

Lombok memiliki beberapa taman, misalnya Narmada, yang apabila di-rekonstruksi dengan benar dapat mengalahkan taman-taman air yang ada di Bali. Kemungkinan besar beberapa taman air di Karangasem dibangun oleh orang Lombok. 

Dari lebih dari 50 alun-alun di Jawa dan belasan lain di luar Jawa, hanya beberapa yang berarah mata angin utara selatan. Umumnya memiliki orientasi yang jelas ke gunung, sehingga seolah “menyimpang” dari arah mata angin dengan deklinasi yang tidak kecil. Alun-alun Kediri, mungkin salah satu yang tertua di Jawa, jelas menghadap ke gunung Wilis di barat. Masjid rayanya tidak menghalangi pandangan dari pendopo kabupaten ke gunung tersebut, sebab letaknya seperti sengaja mengalah, mengambil tempat di sudut barat daya alun-alun, bukan tepat di barat pada sumbu dari pendopo ke gunung Wilis tersebut.  

Seni taman Indonesia juga terbaca sangat visual di dalam naskah-naskah Jawa abad XIV—XV seperti Kakawin Sutasoma. Mereka sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam istana-istana raja. Taman Ratnalaya adalah tempat sinkretisme ditawarkan antara Buddhisme dan Hinduisme dalam wujud perkawinan antara Sutasoma dan Putri  Candrawati.

7. 

Banten dan Cirebon. 

Banten (lama) dapat dikatakan merupakan kota dengan tatanan Islam pertama yang dibangun mulai dari nol, di atas lahan kosong tanpa peninggalan tatanan ke-hindu-an sebelumnya. Alun-alun tentu mewarisi gagasan dari tatanan yang sudah dikenal lama sebelumnya. Namun, di sini masjid dibangun bersamaan sejak awal dengan alun-alun dan istana. 

Kini Serang adalah kota industri yang pekat dengan kehidupan perburuhan. Bersama dengan Batam, Serang seharusnya dikaji untuk menghasilkan dasar-dasar bagi perjalanan urbanisasi industrial Indonesia selanjutnya.

Cirebon adalah kota dengan beberapa keraton dan beberapa alun-alun. Ia menjadi salah satu obyek proyek perombakan alun-alun besar-besaran di Jawa Barat (dan beberapa di Jawa Tengah seperti Semarang). Disebut umumnya dengan istilah ‘revitalisasi’, entah didasari cukup atau tidak oleh pengetahuan tentang makna dan sejarah sosial-budaya bentuk dan pemanfaatan alun-alun.  Bagaimanapun ia mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam imajinasi kalangan elit pemerintah dan profesional, dan mungkin sebagian kelas menengah baru perkotaan.

8. 

Masjid

Kata HAMKA (H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo), di Jakarta orang mengupayakan yang paling besar; tetapi di Banjarmasin orang mendapatkan yang paling indah. HAMKA merujuk kepada Masjid Istiqlal di Jakarta dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Banjarmasin. Profesor Pirous menceritakan pengalamannya mengerjakan ragam hias untuk kedua masjid itu. Ini juga bagian dari sejarah “Decenta” yang bersejarah, suatu perusahaan yang didirikan oleh beliau dan kawan-kawan untuk memajukan seni grafis dan seni kriya, cikal bakal dari apa yang sekarang sering hanya disebut ‘design’

Variasi bentuk dan tata letak masjid tidaklah dapat disederhanakan menjadi hanya “di sebelah barat alun-alun”. Kenyataannya tidak selalu demikian. Variasi bentuk masjid di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa mencengangkan, dan sangat terkait dengan  tradisi, budaya, lingkungan serta kota setempat. Di pusat kota Palopo, masjid utama kota itu dibangun dengan dinding susunan batu setebal 90 sentimeter. Sejauh saya tahu, itulah satu-satunya masjid berdinding susunan batu tebal seperti candi di Indonesia. Sementara itu, para arkeolog belum lama ini telah menggali umpak Masjid Raya Plered (awal abad XVIII) yang berbentuk bundar. 

9. 

Banjarmasin

Banjarmasin memiliki irama kehidupan perkotaan sesuai irama pasang susut air. Ia terletak di dalam bentang alam yang disebut “Kawasan Sungai Pasang Surut (KASUPASUT).  Ia menghasilkan ilmu dan teknologi yang selaras dengan lingkungan, mulai dari jenis fondasi bangunan, teknik pertanian ‘surjan’—gabungan antara sawah dan palawija—yang memanfaatkan air pasang surut, perahu bernama jukung, dan teknik “menabuk dan melabur”. Yang terakhir itu berarti membentuk daratan kering tanpa mengurangi ruang untuk air, yaitu dengan cara menggali dasar rawa dan menimbunnya di sebelahnya sehingga membentuk daratan kering untuk pertanian, bangunan dan lain-lain. Terhadap hal ini, jargon “waterfront city” sungguh merupakan reduksi yang tidak dapat dihormati. Kearifan ini sekaligus melawan sesat-pikir ‘reklamasi’ yang mengurangi ruang air maupun tanah di tempat berbeda.

Banjarmasin memiliki bahasa campuran Jawa-Melayu yang tidak ada duanya. Karena itu, juga budayanya. Kemasyarakatan, yang salah satu cirinya adalah solidaritas dan kerja sama atau gotong royong, di Banjarmasin tampak pada banyak sekali perkumpulan swadaya masyarakat pemadam kebakaran.

Bab 10. 

Surakarta dan Yogyakarta

Baik Surakarta maupun Yogyakarta dirancang oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Berlainan dengan anggapan umum, sumbu kedua kota ini tidaklah mengarah kepada mata angin, melainkan kepada gunung-gunung, sehingga seolah menyimpang dari arah utara atau timur.  Ia menghasilkan tatanan yang merujuk kepada kosmologi sekaligus bersifat ktonik (mengacu kepada bumi).  Kedua kota memiliki banyak hal penting lain dalam sejarah perkotaan modern Indonesia. Surakarta memiliki taman kota untuk umum (bukan taman istana semata) yang pertama, pelopor stasiun radio (Gesang menjadi tenar antara lain karena penampilannya di radio), pelopor dalam fasilitas mandi cuci kakus untuk rakyat, dan lain-lain. Keluarga kerajaan telah menjadi salah satu penggerak utama modernisasi kota.  

Namun, kota-kota ini juga telah mengalami suburbanisasi yang mengkhawatirkan. Jumlah penduduk pusat-pusat kotanya berkurang secara absolut dalam sepuluh tahun terakhir, dibarengi dengan perluasan kawasan terbangun yang tidak terkendali. Bersamanya muncul gaya hidup baru di pinggir-pinggir kota, suburbs, antara lain ditandai oleh meningkatkan jumlah hewan kesayangan di rumah-tangga rumah tangga muda.

Suatu peta dari masa penerus Sultan Agung, yaitu Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I  (atau Susuhunan Ingalaga, memerintah tahun 1646-1677) memberikan teka teki menarik berupa konsep ibukota yang sama sekali berbeda dengan Yogya maupun Surakarta sekarang. Keseluruhannya tampak sebagai suatu kota taman air dengan banyak kolam tersebar, yang dikelilingi bukan oleh tembok buatan, melainkan tebing alam Pegunungan Sewu di timur dan tenggara, serta perbukitan buatan di sisi-sisi lainnya.  

Baik dalam hal kuno maupun kontemporer, Yogyakarta dan Surakarta masih menawarkan pelajaran dan teka-teki yang layak dipelajari untuk memandu kita memasuki masa depan.

Bab 11. Candi

Meskipun relief candi memaparkan narasi dari kitab-kitab India, unsur-unsur visual di dalamnya, misalnya fauna dan flora, motif hiasan, pakaian, arsitektur dan bentang alam, dipercayai sungguh-sungguh menggambarkan keadaan nyata di masanya. Kajian keruangan Candi telah dimulai pada skala arsitektur dan tata letak bangunan oleh Almarhum Prof. Parmono Atmadi, disusul kemudian oleh kajian alm. Prof Mundardjito tentang perletakan candi di dalam bentang alam sebagian Dataran Kedu, dan belakangan diperluas lagi oleh Veronique Degroot. Mereka menerangkan orientasi yang kuat, bukan terutama kepada mata angin, tetapi terhadap air dan gunung. Hampir semua candi berada tidak lebih dari 500 meter dari sungai. Cikal bakal kota-kota kita pun sama: dekat sungai. Dalam keadaan sekarang: dilalui sungai.  

Sandra Sardjono melacak perkembangan motif batik, antara lain kawung, mulai dari Candi Sewu hingga Zaman Singosari. Kreativitas Jawa mengembangkannya dari pola dasar roundel yang berasal dari Persia yang sampai ke Indonesia melalui Dinasti Tang (abad VIII hingga X).

Tatanan tiga ruang pura-pura Bali, yang kemudian menjadi salah satu dasar seni taman Bali, bukan saja telah ada akarnya pada Candi Penataran, tetapi bahkan lebih awal pada Candi Ijo dekat Ratuboko, juga dari abad VIII hingga X. 

Bab 12. 

Cakranegara dan Trowulan

Di Puri Cakranegara ini, yang sekarang merupakan sebuah kecamatan dalam Kota Mataram, Lombok, ditemukan pertama kalinya salinan lontara Kakawin Desawarnana pada tahun 1894, hampir 530 tahun setelah diselesaikan oleh Mpu Prapanca.  Sejak itu orang sibuk meneliti Majapahit dan ibukotanya, Trowulan, yang diuraikan rinci di dalam Pupuh 8-13 kakawin tersebut.  Spekulasi tentang tatanan Trowulan berlangsung hingga kini, meskipun tampaknya makin memperoleh sosok yang pasti, setelah orang menemukan kembali pada tahun 2009 sebuah peta arkeologis yang dibuat atas perintah Rafless pada awal abad XIX. 

Padahal, Cakranegara itu sendiri merupakan contoh yang hingga kini dapat dikatakan utuh sebagai suatu kota dengan tatanan Hindu yang sangat jelas. Ia bukan saja penerapan begitu saja tatanan keruangan Hindu-Bali, tetapi juga menyesuaikannya dengan hal-hal praktis keadaan sekitar, utamanya kemirangan tanah dan aliran air, serta tentu saja Gunung setempat, Rinjani.

Bab 13. 

Lasem dan Pegunungan Kendeng Utara. 

Lasem kini dianggap kota dengan warisan arsitektur Tionghoa paling dominan. Namun, ia bukan kota yang dibangun sejak awal oleh orang Tionghoa—yang demikian itu, menurut catatan Mahuan pada tahun 1430-an, adalah Gresik. Pecinan memang terdapat di hampir semua kota pesisir dan sebagian kota pedalaman (misalnya Bukittinggi, Malang dan lain-lain) di Indonesia. Ini menunjukkan peran orang Tionghoa dalam membangun bukan saja kota, tetapi kekotaan, di Indonesia, jauh sebelum kedatangan orang Eropa. Salah satu kuncinya: mereka tidak membangun benteng memagari permukimannya, dan tradisi kekotaannya yang tua (beberapa ribu tahun) telah memberikan intuisi untuk memastikan hak atas tanah dan bangunan yang permanen. Perdagangan mereka bukan hanya ekspor-impor, tetapi juga melayani kebutuhan sehari-hari warga perkotaan tempatan, termasuk warung dan restoran serta rokok kretek.

Batik Lasem, bersama dengan Batik Tuban dan sekitarnya yang terkenal itu, sangat tergantung kepada Pegunungan Kendeng Utara untuk air yang berkandungan kapur yang tinggi. Produk kreativ tidaklah dihasilkan dari nol atau gagasan semata, melainkan memiliki basis materialnya dari alam. Pelestarian pusaka budaya tidak dapat dipisahkan dari pelestarian alam. 

Bab 14. 

Surabaya. 

Saya menggambarkan perkembangan kota Surabaya melalui pembacaan atas peta dari zaman-zaman berbeda. Ini juga berarti suatu kisah tentang sejarah grafis pemetaan, termasuk bias dan teknik yang tersedia pada masing-masing zaman.

Surabaya adalah juga kisah tentang kota industri pertama di Indonesia, yang dimulai dengan industri angkatan laut oleh Daendels, dan berkembang hingga mampu membuat ketel-ketel mesin uap di awal abad XX atau bahkan mungkin akhir abad XIX. 

Pada surabaya kita juga dapat mempelajari bagaimana keterlambatan keputusan tentang peningkatan pelabuhan membuat Surabaya yang semula merupakan kota terbesar di Hindia Belanda menjadi kota nomor dua setelah Batavia. 

Di Surabaya kita juga menyaksikan kegiatan awal Sarikat Islam membela penyewa tanah.

Di Surabaya kita juga menemukan asal usul penolakan teknokratis-birokratis kota terhadap pedagang kaki lima pada masa pasca PD I.  Sikap kolonial yang dipelopori oleh Thomas Karsten ini masih melekat di sebagian penyelenggara kota-kota kita maupun para teknokratnya hingga sekarang.

15. 

Rumah: Kampung, Kota. 

Satu-satunya upaya sukses dalam perumahan rakyat sepanjang sejarah Indonesia hingga kini adalah melalui Yayasan Kas Pembangunan, yang berasaskan iuran anggota dan memanfaatkan tanah pemerintah. Yayasan ini hampir dilupakan karena runtuh oleh hiperinflasi di tahun 1960-an. Satu-satunya yang masih bertahan ada di Surabaya, yang kini menjadi kasus hukum karena diduga terjadi korupsi. Aset pemerintah kota Surabaya pada Yayasan itu kini bernilai 60 Triliun. 

Pada tahun 1930 sudah ada orang bernama Flieringa menulis disertasi doktor tentang sejarah perumahan di Hindia Belanda. Perhatian besar dimulai oleh Tillema yang 15 tahun sebelumnya telah memaparkan secara rinci keadaan permukiman di Hindia Belanda, dalam enam volume bukunya “Kromoblanda”. 

Sayangnya, sistem kolonial tidak memungkinkan perubahan progresif yang sungguh-sungguh, bahkan tidak menerapkan sistem perumahan sosial yang sudah berkembang baik di Belanda dan Jerman di masa itu.

Padahal, di awal abad XX itu di Semarang misalnya terdapat pasa sosialis yang sangat progresif seperti anggota dewan kota Tillema dan Westerveld yang mendahului arsitek Thomas Karsten yang baru tiba pada tahun 1914. Apakah terobosan seperti di Kampung Akuarium akan mengubah sejarah nasional perumahan? Mungkin kita perlu menunggu tahun 2024.

16. 

Herman Thomas Karsten.

Thomas Karsten berjasa menyusun Stadsvorving Ordonantie, yang diterjemahkan menjadi UU Pembentukan atau Pembangunan Kota. Maknanya yang mendasar kurang lebih sama: kota itu berbentuk, dan bentuk mempunyai relasi timbal balik dengan makna dan tujuan sosial-budaya. Undang-undang ini disusun pada tahun 1937/8, tetapi baru digunakan pada tahun 1946/47 di masa Republik Indonesia Serikat ketika Belanda membangun kembali kota-kota pasca PDII, di wilayah Negara Indonesia Timur, dan ketika merencanakan Kebayoran Baru. pada tahun 1949. Selanjutnya ia diterima sebagai undang-undang yang berlaku di dalam Republik Indonesia sejak 1950, sampai ia dicabut dengan berlakunya UU Penataan Ruang tahun 1992.  Yang ada sejak 1992 hingga sekarang adalah UU Penataan Ruang. Bentuk—yang melekat pada makna dan maksud tujuan sosial budaya—tidak lagi menjadi perhatian utama. Ruang kota menjadi fragmen-fragmen “guna” yang bernilai ekonomi, dan mudah dikapitalisasi. Kemudian sibuk dipinjam istilah Urban Design Guidelines bergaya Amerika yang kemudian diterjemahkan menjadi Panduan Rancang Kota yang, karena dasarnya adalah UU tata ruang itu, maka juga tidak melekatkan banyak tujuan sosial-budaya, melainkan melekatkan keindahan pada ruang ekonomi. Sekarang tidak ada UU Perkotaan, tetapi malah ada UU Perdesaan, padahal penduduk perkotaan melampaui 56 % dari keseluruhan penduduk. 

Pada tahun 1937 Karsten mengatakan bahwa “selambatnya 20 tahun dari sekarang”—berarti tahun 1957— jalan kereta api di Gambir sudah harus diangkat di atas jalan raya. Hal itu baru terwujud pada akhir tahun 1980-an, setelah mulai dibangun pada tahun 1986. 

17. 

Soesilo dan Kebayoran Baru. 

Rancangan Soesilo untuk Kebayoran Baru mengantar kepada perdebatan sangat substantif dengan Prof. van Romondt tentang warisan budaya berkota Indonesia, terutama Jawa, dan antisipasi atau visi ke depan. 

Surat jawaban Soesilo kepada van Romondt sejumlah 11 halaman ketik saya terjemahkan dan sertakan hasilnya di dalam buku ini, bersama terjemahan beberapa naskah penting serta menarik lainnya, seperti misalnya naskah tahun 1925 berupa laporan kaukus anggota volksraad pribumi pimpinan M. H. Thamrin yang berisi adviesnya tentang bagaimana memperbaiki kampung, yaitu dengan antara lain dibentuk ‘dewan kampung’ (kampongsraad).

Riwayat hidup Soesilo juga penting sebagai tokoh kelas menengah pribumi yang harus menghadapi rasialisme kolonial di masa itu. Soesilo adalah pejabat Kepala Dinas Pembangunan Kota dan Pengawasan Pembangunan di Jakarta di masa Jepang, pangkat tertinggi seorang Pribumi langsung di bawah walikota seorang Jepang.

18. 

Bandung.

Bandung memiliki sejarah intelektual arsitektur dan kajian perkotaan yang pekat. Di sini almarhum Prof. Sandi Siregar pada tahun 1980-an memulai tradisi kajian arsitektur yang disebut analisis tipomorfologi yang hingga kini melembaga sebagai suatu metoda minimal dalam membahas perkembangan bentuk kota dalam disiplin arsitektur. Penulisan populer tentang kota dapat dikatakan juga dimulai di Bandung oleh Haryoto Kunto di akhir tahun 1970-an. 

Bandung menikmati booming pertama pembangunan berkat kemakmuran hasil perkebunan. Kota ini, baik dulu maupun sekarang, merupakan salah satu kota dengan jumlah profesional arsitektur dan perencanaan kota terbanyak di Indonesia, sesudah Jakarta.

19. 

Warga. 

Kesadaran warga, bahwa nasib kota menentukan kehidupannya, dan bahwa nasib itu berada di tangannya, meningkat sangat pesat selama dua puluh tahun lebih sejak 1998. Ini adalah hasil desentralisasi, otonomi dan kebebasan yang nyata, yang masih kurang dilihat secara terpisah dari keseluruhan politik demokratisasi Indonesia. Namun, harus diakui belakangan ini makin banyak para ahli ilmu sosial melihatnya demikian. 

Saya sendiri mengamati dengan mudah perkembangan ini, karena menyangkut hampir seluruh hidup profesional saya sejak 1990. Selain saya sendiri, dulu agak sulit mencari “komentator” masalah-masalah perkotaan. Sekarang banyak sekali. Ini baik sekali. 

Perkembangan penetrasi internet dan sosial media merupakan gejala yang akan menyertai perkembangan keberdayaan warga di masa depan, bersama dengan pengorganisasian dan pendalaman kebijakan publik yang makin tajam dan argumentatif.  

Namun, bagaimana kita dapat menyongsong bumi yang sedang mendidih? 

Untuk pertanyaan yang banyak jawaban masih dinantikan itu, saya mengingatkan salah satu hal yang bagi saya sangat penting dari proses menyusun buku ini: Bahwa manusia harus berbagi ruang dan sumber daya bersama spesies-spesies lain, sekarang dan nanti, yang juga sangat tergantung dan karena itu selalu membangun habitatnya di dekat aliran air. Air hanya baik kalau seluruh lingkungan baik. Kalau kita menjadikan kualitas air sebagai tujuan, maka dengan sendirinya seluruh lingkungan harus diperbaiki. Kita harus lebih banyak membangun commons, dan mengupayakan keadilan dan kolektivitas seluas dan sejauh mungkin. Mandala sembilan ruang Bali ini, Dewata Nawa Sanga,  dapat membantu kita memetakan persoalan dan mengambil tindakan.  

Posted in Uncategorized | 2 Comments

Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kepulihan Alam Selama 1 Tahun Pertama Lockdown, Maret 2020-Maret 2021

Disarikan dari filem dokumenter

The Year Earth Changed (2021)

Sutradara: Tom Beard

Narrator: David Attenborough

Producers: BBC Studios Natural History Unit dan An Apple Original

Setelah BEBERAPA JAM Lockdown

Kebisingan lalu lintas berkurang hingga 70%.

San Fransico (penduduk 4,7 juta jiwa): Burung Pipit Bermahkota Putih (white-crowned sparrow, Zonotrichia leucophrys) di Golden Gate melantunkan panggilan kawin bernada baru (yang tidak pernah terdengar sebelumnya karena kebisingan). Mereka mengalami musim kawin terbaik sejak 1950. San Fransisco mengalami lalu lintas terendah sejak tahun yang sama.

Setelah BEBERAPA HARI lockdown

Los Angeles mendapatkan kualitas udara terbaik dalam 40 tahun terakhir.

Di seluruh negeri Cina tingkat gas beracun di udara turun separoh.

Setelah 12 HARI Lockdown

Jalandhar (penduduk 1 juta jiwa), India: Himalaya tampak jelas pertama kali dalam 30 tahun terakhir. Jarak Jalandhar-Himalaya = 200 km. Yang berumur 30 tahun ke bawah untuk pertama kalinya melihat pegunungan itu, yang sebelumnya tertutup kabut polusi).

Setelah 4 MINGGU lockdown (APRIL 2020)

Larangan perjalanan sebabkan perjalanan udara sedunia turun sebesar 90%.

Wisatawan antar-negeri berkurang sebanyak 114 juta orang dibandingkan dengan rentang sebulan yang sama di tahun sebelumnya.

Di Spanyol, pengunjung turun dari sebelumnya 7 juta menjadi 0 (nol) dalam rentang waktu sebulan yang sama.

Florida: Penyu Tempayan (Loggerhead Sea Turtle, Caretta caretta) pertama kali dalam seumur hidupnya bertelur dengan tenang di pantai Juno tanpa gangguan manusia. Mereka biasanya kembali ke pantai ini setiap 2-3 tahun sekali. Mereka sudah memiliki kebiasaan ini selama lebih dari 1 juta tahun. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat keberhasilan bertelur mereka telah turun menjadi tinggal 40%. Dengan lockdown, tingkat itu naik menjadi 61%.

Teluk Alaska Tenggara: Paus Bungkuk (Hunchback Whales) berkomunikasi lebih lama, dari/ke jarak lebih jauh, dan dengan cara-cara baru (termasuk suara) yang belum pernah terekam sebelumnya. Mereka dapat pergi lebih jauh meninggalkan bayi-bayinya untuk berburu bersama sesama paus dewasa secara lebih efektif (mereka perlu bekerja sama secara terkoordinasi).

Kawasan ini sebelum pandemi dilewati sekitar 1 juta penumpang kapal pesiar setiap tahun. Tanpa mereka, bawah laut menjadi 25 kali lebih senyap.

Setiap tahun 10.000 Paus Bungkuk datang dari Hawaii ke teluk ini untuk mendapatkan makanan.

Sebelum ini tingkat bayi Paus Bungkuk yang berhasil tumbuh dewasa adalah 7%. Dengan pandemi ini diharapkan akan meningkat.

Setelah 3 BULAN lockdown

Pengangkutan barang melalui laut turun sebanyak 17% dalam tiga bulan pertama lockdown.

Hauraki Gulf, New Zealand: Dolfin meningkatkan jarak komunikasi mereka tiga kali lipat.

Salish Sea, Canada: Gangguan suara dari lalu lintas kapal turun empat kali lipat. Paus Pembunuh (Killer Whales, Orca) meningkatkan koordinasi berburu dengan suara.

AS: hampir separoh tenaga kerja bekerja di rumah. Di seluruh dunia seperempar usaha tutup. Kota-kota besar seluruh dunia: langkah kaki berkurang sebanyak lebih dari 90%.

Santa Lucia, Afrika Selatan: Kuda Nil tampak di dekat pompa bensin.

Tel Aviv, Israel: Jakal berjalan-jalan di taman-taman dalam kota.

Santiago, Chile: Puma berjalan di trotoar kota.

Nara, Jepang: Rusa Sika (Shika Deer, Cervus nippon) menemukan kembali sisa ladang tempat mereka sebelumnya merumput.

Nara dan sekitarnya telah menjadi tempat tinggal mereka setidaknya selama 1.300 tahun. Karena banyak turis di sekitar kuil, yang dikunjungi 13 juta wisatawan setiap tahun, sebelum pandemi mereka tergantung kepada makanan berupa kerupuk beras dari pengunjung, karena sebagian besar ladang tempat mereka sebelumnya merumput telah diduduki bangunan. Para ahli mengatakan bahwa tempat asli mereka merumput itu memberikan pangan yang lebih sehat: rumput, rempah dan daun-daunan.

Tanpa pengunjung, sampah plastik yang dapat membunuh mereka juga berkurang.

Setelah 4 BULAN Lockdown

Buenos Aires, Argentina: Kapibara (Hydrochoerus hydrochaeris) mendudki halaman-halaman rumah pinggir kota (suburbs) tempat mereka dulu merumput.

Mpumalanga, Afika Selatan: Monyet Vervet, Impala dan Antelop Nyala, Macan Tutul (Leopard) menguasai penginapan-penginapan kosong karena perjalanan safari batal.

Macan Tutul jantan malah berburu di siang hari! (Hewan ini dikenal sebagai hewan pemangsa malam/nocturnal).

Di seluruh Afrika Macan Tutul telah kehilangan 60% luas wilayah habitatnya. Jumlah mereka dalam 25 tahun terakhir telah berkurang sebanyak 30%.

Setelah 6 BULAN Lockdown (September 2020)

Lebih dari 40 negara masih melarang perjalanan, membatasi pergerakan sekitar 3 milyar orang.

Sungai Gangga, India: Tingkat kandungan Oksigen di dalam airnya meningkat sebesar 80%.

Pantai Atlantik, Maroko: Peringkat kebersihan air laut melonjak dari “buruk” ke “sangat baik”.

Cape Town, Afrika Selatan: Penguin Afrika (African Jackass Penguin) melintasi permukiman tepi pantai untuk memberi makan bayi-bayinya. Mereka meninggalkannya ketika berburu ikan, tetapi ketika akan kembali di siang hari selalu terhalang orang, sehingga sebelum pandemi mereka telah mengubah masa menyuap bayi menjadi malam hari. Kini mereka bisa membawa ikan untuk bayi-bayi mereka dua hingga tiga kali sehari di sian hari. Kini dilaporkan bahwa bayi-bayi mereka lebih banyak dan telah tumbuh lebih cepat. Bahkan dilaporkan makin banyak Penguin melahirkan bayi kembar. Juga ada yang melahirkan dua kali dalam jarak waktu beberapa minggu. Ini pertama kali terjadi setelah lebih dari satu dasawarsa.

Pengetahuan baru: Dengan keadaan di atas kini disadari bahwa selama ini hubungan mereka dengan manusia tidak baik-baik saja, bahwa tanpa manusia menduduki tempat mereka, seperti sekarang ketika pandemi, mereka dalam keadaan lebih baik. Dalam 30 tahun terakhir populasi Penguin telah berkurang sebanyak lebih dari 70%.

Maasai Mara, Kenya (pengunjung tahunan sebayak 300.000+): Cheetah, pelari tercepat dunia, dapat memanggil anak-anaknya pada jarak ratusan meter dengan suara yang jelas, meskipun harus perlahan dan hanya satu dua kali saja. Panggilan ini penting karena dia harus menunggui mangsanya sementara anak-anaknya datang.

Cheetah biasanya harus meninggalkan anak-anaknya untuk berburu. Sedangkan mangsanya, yaitu rusa, berukuran besar sehingga tidak dapat ia seret kepada anak-anaknya. Bila ia meninggalkan mangsanya untuk menemui anak-anaknya, ada kemungkinan mangsanya akan diserobot pemangsa lain saingannya, yaitu singa dan hyena. Suara panggilannya juga harus pelan dan hanya satu dua kali saja, karena khawatir terdengar oleh kedua predator saingan tersebut. Selama ini, karena kebisingan pengunjung safari, Cheetah sulit memanggil anak-anaknya.

Sebelum pandemi hanya ada sekitar 7.000 Cheetah dewasa di Afrika. Sekarang terdapat lebih banyak anak Cheetah yang berumur lebih dari 3 bulan, yang berarti akan lebih banyak yang akan tumbuh dewasa.

Bwindi National Park, Uganda: Gorila Gunung melahirkan dua kali lebih banyak anak.

Dorset, England: Kuda Laut Berduri mencapai jumlah terbanyak dalam lebih dari 10 tahun terakhir. Ini dikarenakan rumput laut makanan dan habitat mereka tumbuh tidak terganggu oleh lalu lintas kapal.

Laikipia, Kenya: Badak bercula satu tidak ada yang dibunuh untuk diambil culanya. Ini pertama kali sejak 1999.

Setelah 12 BULAN Lockdown

Emisi CO2 sedunia turun sebanyak 6%, angka terbesar yang tercatat sepanjang masa.

Menyongsong Masa Depan

ASSAM, India: Penduduk setempat hidup berbagai ruang dan pangan dengan gajah yang sebelumnya banyak mendatangi permukiman dan kebun-kebun mereka untuk mencari makan, karena hutan menyempit.

Mereka menanam biji-bijian dan semak perdu lainnya yang tumbuh cepat di tanah pertanian mereka di perbatasan dengan hutan, untuk menjadi makanan Gajah. Ternyata Gajah memahaminya dan memakan yang ditanam khusus untuk mereka itu, dan tidak lagi mengganggu kebun dan perkampungan penduduk.

Dalam beberapa bulan penduduk menanami 400 hektar lahan milik mereka untuk pangan Gajah.

Kunci: berbagi ruang dan makanan.

Pandemi telah mengembalikan kepada species lain dan unsur alam lainnya ruang dan waktu yang sebelumnya diambil manusia dari mereka.

Siapa dapat menduga, bahwa virus tidak telah sengaja membantu mereka mengingatkan manusia akan hak mereka?

Bantul, 7 Januari 2023

Marco Kusumawijaya

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Lebah Gung Keluar Hutan

Ini kisah Lebah Gung (Lebah Madu Raksasa, Apis dorsata) di Kalurahan Muntuk, Kapanewon Dlingo, Kabupaten Bantul.

Tanggal 30 Desember 2022, pagi hari. Seseorang di dusun Pesanggrahan tanpa sengaja membunuh seekor Lebah Gung ketika sedang memupuki sawahnya. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit ribuan lebah serupa datang menyerang dia dan isterinya. Dalam keadaan kesakitan suami isteri itu berlari ke desa terdekat untuk minta tolong. Diikuti terus oleh rombongan lebah yang bergerak dengan suara berdengung, pada kecepatan 32 kilometer per jam.  Namun, tak seorang pun tahu bagaimana cara menolongnya. Kebanyakan malah langsung masuk rumah dan menutup seluruh pintu dan jendela. Hanya ada satu warga yang sempat memberikan kantong plastik yang digunakan untuk melindungi kepala suami. Suami isteri berlari terpisah: suami ke barat, isteri ke utara. Suami akhirnya ditolong setelah lebah membubarkan diri. Isteri ditemukan dalam keadaan pingsan di jalan. Saksi mengatakan “wajahnya seperti bukan manusia lagi”, penuh benjolan-benjolan.

Lebah diduga datang dari hutan tempat mereka berdiam di sebelah timur sawah. Tidak diketahui, mengapa ada seekor di sawah. Ini mungkin lebah yang bertugas mencari tahu tanaman padi mana yang sudah bermalai (berbunga majemuk).  Padi akan bermalai dalam dua pekan ke depan. Bulan Maret nanti, dua setengah bulan dari sekarang, mereka akan menjadi butir padi yang siap dipanen, apabila hujan berkurang dan tidak merontokkannya dalam beberapa minggu ke depan.

Kematian lebah itu, mungkin juga menjelang kematiannya, telah mengirimkan suatu tanda ke hutan sehingga warga sesarangnya datang. Tubuhnya yang remuk mungkin telah mengirim bau ke hutan mengendarai angin dari barat ke hutan itu. Atau mungkinkah sebelum ia wafat ia telah berhasil mengirimkan permintaan tolong atau tanda bahaya pada frekuensi suara yang hanya didengar mereka?

Masyarakat sekitar mengaku belum pernah mengalami hal serupa, sejauh mereka bisa mengingat. Ini berarti setidaknya selama tiga generasi tidak ada kejadian serupa. Namun, ada cerita bahwa di desa sebelah kejadian serupa pernah terjadi dua generasi yang lalu. Ini menjelaskan mengapa masyarakat sekarang tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali menghindari rombongan lebah yang terus menyengat pembunuh warganya.  Sebenarnya, asap tentu saja hal paling mudah untuk mengusir lebah. Mereka tidak suka asap yang mengotori udara. Mereka terbiasa dengan udara bersih. Apalagi asap tembakau, yang memang digunakan sebagai insektisida organik.

Lebah Gung yang biasanya tidak keluar hutan, mengapa kemarin dulu mereka keluar? Apakah mereka terdesak?

Saya teringat 40 tahun lalu, 1982, ketika pertama kali menulis esei pendek dalam rangka mata kuliah “Ilmu Lingkungan”. Kebetulan ada kejadian di Lembang, dekat Bandung. Petani bunga kewalahan karena terlalu banyak serangga menyerang kebun-kebun mereka. Tentu saja di mana ada bunga memang wajar ada serangga yang datang mengisap madunya. Dan sambil demikian mereka membantu penyerbukan. Namun, masalahnya tahun itu mereka terlalu banyak. Ternyata, hutan di sekitar perkebunan bunga-bunga itu telah terganggu oleh berbagai kegiatan: tambang pasir vulkanik (tras) untuk membuat batako; kegiatan perkemahan anak muda yang meingkat; perluasan kebun bunga itu sendiri…dan buah-buahan (strawberry!); penambahan vila-vila; dan lain-lain. Lebah dan serangga lain terpaksa harus mencari madu di luar hutan.

Dan madu itu kemudian dikumpulkan manusia dari sarang-sarang mereka untuk disantap sebagai peningkat kesehatan.

Ada desas desus di desa saya Muntuk itu, bahwa akan ada misi dikirim untuk mencari sarang lebah itu di hutan untuk menghancurknnya. Semoga tindakan pembalasan seperti itu tidak terjadi. Kami tadi mengunjungi hutan itu. Tidak menemukan sarang mereka, yang pasti tersembunyi jauh dari jalan setapak. Yang saya temukan di sisi timurnya: Pemandangan ke hutan Pegunungan Sewu, tempat mata air Bengawan Solo “terkurung” (kata Pak Gesang). Kami juga membawa pulang empat nanas manis, serta beberapa ranting daun kayu putih untuk mengarahkan nyamuk menjauh dari kaki saya di sore hari.   

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Social Production of Arts

“Socially-produced arts” and “social production of arts” are not just terms. They are important concepts to counter abusive claims by arts collectives that they (already) “work(ed) with communities” or they are “socially-engaged”.

Socially-produced arts are those produced through interactions among members of a society or a community. They might or might not be facilitated by “professional” artists or others, but the products are theirs, not the artists’s or others’s.

Given that definition, it is clear that all works labelled with authorship “by artists that or this”, even with addition “in collaboration with community this and that…” are not socially-produced arts, but should be discerned as socially-inspired or socially-engaged” arts.

Is there such things as socially-produced arts and social production of arts? This question has to do with historical definitions of arts. Let’s discuss.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

I think…

We can use the following terms:

  • Socially-produced arts
  • Social production of arts
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Prerequisites for Thriving (Urban) Diversity:Equity, Justice and Bio-diversity[1]

Discourse on urban diversity should not isolate the city from its region, because isolation will reduce diversity. Sustainable urban diversity cannot be separated from its regional natural environment, nor from its historical development. Some degree of historicism is also essential to understand the present, to avoid looking at heritage of diversity at façade value, and to be critical towards emerging middle-class consumer fetishism.

Urban Diversity Requires Equity and Justice

(Urban) Diversity is given. It is natural for a city to develop in diversity as it grows. It is not particular to a certain context or culture. It is universal. A description of any great city (in whatever political and cultural set-ups) always include a degree of diversity. The economic value of diversity has been described in many ways. However, how this ‘natural’ diversity can be made more beneficial depends on interventions, on urban policy. A minimal set of requirements consisting of equity, justice and bio-diversity is fundamental for it or it to thrive and lead to progress.

More research is needed not on the diversity itself, or each component of it, but on the relationship between it and equity, justice and bio-diversity of the city regions. Research merely on diversity itself will result only in predictable conclusion that differences are a blessing and must be tolerated. Equating diversity with differences itself is already a problematic notion. Toleration is a weak word in this case, because diversity is natural, whether one likes it or not—one just has to live with it. The only reasonable deal with it is to make it beneficial, because it is potentially so.

The worth of urban diversity must be made beneficial by maximising interactions within each city and between cities and regions. This is possible only when members of society feel and experience equity and justice in real sense in real daily life.

Largely ignored is also the fact that human creative production, which in turn reproduces diversity, is based on natural materials, not coming out of the blue. Cultural products such as batik—for example, just picking up an example that every one knows—depends so much on natural bio-diversity that surrounds its places of production.

By now we have evidences that since at least 14th century cities in Indonesia—to be imagined not in the same density as we have now, but in their own right relative to their surroundings—have known people from many parts of the world visiting or residing in them. We must take into our imagination also, that in the past, the so called “different parts and peoples of the world” must have been perceived very differently than now. For the Makassarese, for example, the Javanese and the Malays were equally strangers, perhaps even as much as the Gujarati, Acehnese and the Chinese.

The relief at Panataran temple—established in 1197, built, expanded, renovated until early XV century—have figures with different head-dresses (from turbans to bird-feather crowns) indicating visitors from different cultures and places. Fifteenth century reports (including Mahuan’s 1433[3]) saw people from different places and customs in the capital of Majapahit, Trowulan. The Great Sultan Ageng Tirtayasa (17th century) allocated different kampungs for people from China and several European countries. He had his two ports managed by Chinese. One of them became his prime minister. Previously Banten, seemed to have had some one form India.[4]

Sultan Iskandar Thani of Aceh had Ar-Raniri as court resident writer. He was from Gujarat, but wrote the Bustan al-Salatin (Garden of Kings) in Malay language.[5]

Case 1: Kampung Melayu in Makassar and Other Precolonial Towns.

Figure 1: Makassar, Kampung Melayu in 1846, lithograph by Charles William Meredith van de Velde; in view people from different countries as shown by their differet clothings and headdresses. (KITLV) in Marco Kusumawijaya, forthcoming, 2022/23).

In 1550 the then King of Gowa, Manrio Gau, permitted the Malay Muslims to apply their own adat law in their own kampung in Makassar.[6] This seemingly racial segregation and pluralist legal system must be seen primarily based on acknowledgement of sovereignty. It was therefore also largely cultural, along with religious practice. The Malays were then already Muslims, while the Gowa-Makassar became Muslims only more than half a century later in 1605.

Segregation of settlements is a common practice in South East Asia long before the colonial time, when in the case of Indonesia the Dutch colonialists maintained and strengthened the segregation for a very different purpose, which is to limit mobility and discourage economic competition from the Chinese and the Arabs with their own business. Colonial capitalism was basically gun-backed monopoly. Thus a segregation for “freedom” and for “managed interaction” by the S.E. kings and sultans was replaced with one for serfdom, deliberately restricting and reducing interaction for the rise of one particular race,  the Dutch. There is no equity nor justice. Equality was denied. Without equity and justice it is impossible for communities to interact with each others as equal partners.

But it is worth being noticed that the different racialised settlements were not initially actually  far apart. In Surabaya the Chinese and Arab kampungs were separated only by a long marketplace—the Pasar Paben. In fact the pasar become a rather effective place of interaction than a barrier. In other cities, the different community kampungs are near and bordering each others, too. In the very small town area of Ternate—delimited by the sea on the east and the mountain on the west—one finds different kampungs for the Chinese, the Arabs, the Palembang Malays, the Bugis, and others side by side. The economic conditions are not much different either. The difference are larger with the native kampungs. The size of the kampungs was also not large, because the whole city was also just large enough to accommodate the different smallish kampungs, their bounderies and other remains we can still see today in several cities.

This case shows different ways in managing diversity in accordance with perceptions and conditions of the time. The ways evolved with different interests and the way of the time. In the pre-colonial time, justice is perceived as self-regulating based on their adat. The Gowa and Makassarese of that time, who were not yet Muslims as the Malays, do not see it as restricting interactions, they actually enjoy the trade and other exchanges made possible by the presence of the Malay traders.

In the next centuries up the present, perceptions of kampung itself evolved, some mistakenly reproduced by development concepts.[7]

I now want to turn to a second case, which is about a very different and problematic kind of diversity. The intention is to emphazise the importance of urban policy, and the required equity in urban development for diversity to be beneficial.

Case 2. Segregated West and East Coastal Jakarta: Voluntary or Structural? Not the kind of desired diversity

Look at the current “voluntary segregation” between parts of eastern and western coastal Jakarta. The differences are not only in terms of dominant race and lifestyle, but even more profound are in the spatial injustice, density, and inequality of access to services and infrastructures.

This is the kind of “segregated diversity” that one should find intolerable. It is impossible to respect this situation simply on the basis of tolerance for differences. Those in the east need access to the seaside and the sea itself for work, for livelihood, while those in the west only need it for leisure and satisfying myth that the west part of Jakarta has more luck, because it is where the head of the dragon is, according to their cultural myth.

The two areas of the same size as marked by the red square have tremendous differences in terms of density and access to basic services and infrastructures. It is visually clear even from a Google Earth map. Socio-culturally, the kampung type in the eastern block may very well have more diversity. In Kampung Susun Akuarium, a kampung that in the past is similar in form to those in the eastern block, at leat six languages—Sunda, Javanese, Makassar, Bugis, Minangkabau, and Palembang Malay—are spoken.

Figure 2: a) West and East Jakarta; west: Pantai Indah Kapuk Housing Estate, east: Kampung Kalibaru b) Detail of Pantai Indah Kapuk; c) Details of Kalibaru, Tanjungpriok.

Even in the western block, at the north-eastern tip, there is this Kampung Muara Angke that has no piped water service. During Covid-19 they had hard time to “wash hands as often as possible”. A family’s expense for water, that they have to daily buy by the gallon, amounts to about 40-80 USD per month, two to three times more than a family in Central Jakarta with piped water.

The next case is about the relationship between cultural and natural diversity and, by consequence, about dependance of of cultural heritage sustainability on protection of natural (bio-) diversity.

Case 3. The Batik of Lasem and Tuban, and The North Kendeng Ecosystem

The well-known red coloured Lasem Batik is long believed to be of important Chinese settlers’ invention since perhaps 14th century or earlier. It might be true that chinese traditions has implanted an acumen among the chinese batik makers to discern better red colours than others in Lasem (Central Java). However, it is obvious that the beautiful strong red natural dyes in the area depend on the North Kendeng karst mountain range/massive. This mountain produces necessary jati (teak, Tectona grandis) leaves and mengkudu (Morinda citrifolia) roots for the natural red dyes, while the calcium-rich water also functions as important fixer that intensifies the red dyes when they penetration into the cotton fibers. The fact is that a village in the TubanDistrict, by the name of Kerek, just east of Lasem and also on the foot of the North Kendeng Massive, also produces beautiful light red-coloured batik for young women and dark red batiks for older women. This adds to the point that red is both cultural and natural.[8]

Batik also depends on nature for its cotton fibers, the wax (the malam), and fixers. Processing batik depends also on the abundant calcium-rich water from North Kendeng mountain. Kerek also uniquely produces two types of cotton fiber: white and brown.

An important creative heritage within the diversity body of Javanese Batik does not come out of the blue. It has its material basis in nature. Preserving such heritage requires also protection of its natural ecosystem.

Some communities who live in North Kendeng Mountain have their way of life to offer to enrich diversity. They are the Sedulur Sikep. They have developed ways to cultivate a very thin layer of top soil. In fact, they have managed to build up te soil over centuries. They have invested in the land several hundred years to create sawah’s and other cultivated fields. They are among the longest surviving independent, land-owning farmers. They are proud of themselves being called Sedulur Sikep, a name that indicates a union of independent land-owners. They have been so since before and during the terrible forced plantonocene by colonial power since 1830 and then liberalisation since 1870. They developed their own spiritual practice, based on both Islamic teaching and inherited wisdoms, to organise tight network of solidarity and indpendence that successfully navigated colonial time.

But now the threat that they are facing is even more sinister, and it is from their own governmet that gave permits for several cement factories that will jeopardise the sensitive karst mountains, potentially destroying their calcium rich water resources.

The batik makers of Kerek has observed that the brown cotton fibers are becoming increasingly rare.

Figure 3: Hand-woven kain of Kerek, natural white and brown cotton fibers plus natural indigo-dyed threads. (Marco Kusumawijaya Collection, July 2019)

Figure 4: Red Batik of Lasem; from https://nokenstudio.com/batik-lasem/, October 2022.

A Note on Accumulated Architectural Heritage as Urban Diversity

Certainly accumulation of physical architectural heritage over time make up an important category of urban diversity. They provide spatial and formal diversity in a city. The city would do well also with more new types and forms of spaces to add to this kind of diversity.

We know that a substantial part of urban architectural heritage in many Indonesian cities are colonial by origin. Urban expansions that developed largely in the 3 decades before the WW II practically made up the whole urbanity of the time and remained permanent features of high significance until now, even as the cities have grown several dozen times larger that those parts. They do introduce several types that were otherwise non-existent in Indonesia.

Nevertheless, the colonial heritage is also significant for representing the racist, unjust and oppresive nature of colonial system that humanity should never forget and reproduce. Preservation of colonial heritage should be based on that significance. The goal of colonial heritage preservation is to make everyone able to sense and understand colonial racism, injustice and oppression. This significance is not to be substituted or covered up by “face value” of architectural styles, quality, and esthetics.

Given current trend of “coolness” towards everything old European remains in the former colony—almost to the degree of fetishism—efforts, including research, are needed more on revealing truth behind the facades: the mechanics of colonialism. Here we are faced with the problem of competition between “coolness” of materialistic façade with its fetishistic temptation and sober reflective significance.

A Note on COVID-19

COVID-19 and Climate Crisis are both significant threats to urban diversity exactly because they impact communities differently, with the poorer suffer the more, while being the least equipped to deal with both. COVID-19 and Climate Crisis’s have made more visible an wide open the cracks of injustice. That should function as our wake up call and remind us of an urgency to close the gaps of injustice. Basic urban services are made even more urgent to be delivered and made accessible to all, or else we will be losing significant diversity in our urban fabric of cultures and non-human species.

Documentations of material urban heritage threatened by climate crisis and other disasters, made-made or natural, are a minimum action that needs to be intensified urgently. Proper documentation will be an important future basis to determine further priority of safeguarding, while itself is already a safeguarding measure.

Yogyakarta, October 2022.


[1] Written for BRIN-Leiden-Delf-Erasmus Academy on “The Smart, Sustainable, and Healthy City in Post COVID-19 Indonesia”, 31 October 2022.

[2] Urbanist, researcher at Rujak Center for Urban Studies, Jakarta. email: mkusumawijaya@gmail.com.

[3] Ma Huan; Ying-yai Sheng-lan,‘The Overall Survey of the Ocean Shores’, 1433; translated abd edited by Feng Ch’eng-Chün with notes from J. V. G. Mills; Cambridge: Hakluyt Society, 1970.

[4] On the history of Banten, see Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII; Jakarta: École française d’Extrême-Orient, 2008 and others.

[5] On history of Aceh, see Lombard, Denys; Le Sultanat d’Atjéh au Temps d’Iskandar Muda, 1607-1636; Paris: École Française d’Extrême-Orient, 1967.

[6] See Christian PELRAS; The Bugis; Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1996; Anthony REID; Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680, Volume One: The Lands below the Winds; Yale University Press, 1990 (1988); and Volume Two, Expansion and Crisis; Yale University Press, 1995.

[7] On the history of devlopment interventions in kampung, see for example Irawaty, Dian Tri; Jakarta’s Kampungs: Their History and Contested Future; thesis, Univerity of California; Los Angeles, 2018.

[8] On Kerek Batik see Rens HERINGA; Nini Towok’s spinning wheel: cloth and the cycle of life in Kerek, Java; Los Angeles: Fowler Museum at UCLA, 2010; and Judi Knight ACHJADI & E. A. NATANEGARA; Tenun Gedhog: The Hand-loomed Fabrics of Tuban, East Java; Jakarta: Media Indonesia Publishing, 2010.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

UU KEKHUSUSAN JAKARTA

Setelah UU ibukota baru keluar, pemerintah menyiapkan RUU kota khusus Jakarta.

Sebaiknya disebut RUU Keutamaan Jakarta.

RUU itu bukan planning document, bukan pula marketing atau branding plan. UU itu berisi status, wewenang dan kewajiban, tatanan hubungan.

Yang penting:

– Pembagian aset.

– Bagaimana dg aset-aset eks pemerintah pusat yang akan ditinggal di Jakarta? Ini mencakup bukan hanya yang bernilai ekonomi, tetapi juga simbolik seperti taman makam pahlawan dan museum nasional.

– bagaimana integrasi tata ruang dan sistem pelayanan umum (transportasi, air, dll…)?

– bagaimana dengan dana khusus?

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Diskriminasi

AS itu sudah 244 tahun merdeka. Sebagian rakyat, lembaga dan UU-nya masih rasis dan irasional diskriminatif.

Indonesia baru 75 tahun….ngeri juga ya.

Pengalaman pribadi sebagai minoritas (cina, katolik, dari udik…) sih, diskriminasi makin berkurang.
Semoga bukan karena orang makin segan sama orang yang makin tua saja sih… 🙂

Yang paling menakutkan itu ketika anak saya di playground bertanya, “Kita bukan Cina kan, Pa?” Lalu ketika TK pertanyaannya berubah, “O, kungkung (kakek) sama phopho (nenek) Cina ya, Pa, tapi kita bukan Cina kan?”
Bisa dibayangkan, sesuatu pasti telah terjadi sebelumnya di sekolah…

(Ada yang mau tahu jawaban kami kepada si anak?)

Untungnya sekeluarga kami tidak menganggap masalah rasialisme diskriminasi ini sebagai masalah personal. Ini masalah sosial (dan politik). Jadi, ada kemampuan sedikit meng-obyektifikasi-kan persoalan, tidak menjadikannya personal.

Belakangan ini, mungkin juga karena usia, isteri saya yang Cina Kota tiba-tiba memberikan hasil renungan panjang (rupanya!): “Rasanya kita itu kalau mau apa-apa tidak bisa lempeng, harus bersiasat berkelok-kelok, tidak bisa menjadi diri sendiri secara lempeng.”

Bahasa kajian populer sekarang, “navigating”…
Dan itu, sebagai masalah sosial yang tidak personal, terjadi pada siapa saja yang hidup di kota ini, hanya berbeda di “terrain” dan sebab-sebab yang digeluti masing-masing.

Semoga kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mengikis terus diskriminasi dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial lainnya; dan ingat bahwa itu bukan hanya karena ras atau agama, tetapi juga karena asal-usul daerah, tingkat sosial ekonomi yang berbeda, dan lain-lain.

Semoga kita tidak perlu 244 tahun untuk menjadi “belum cukup baik”.

Amin.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Dampak Darurat Iklim pada Indonesia

www.mongabay.co.id/2021/08/25/indonesia-dan-laporan-penilaian-keenam-ipcc-bagaimana-harusnya-kita-berubah/amp/

Posted in Uncategorized | Leave a comment