Sejauh Apa Bahaya Penurunan Tanah (land subsidence) Jakarta dan Kota-kota Lain?

Banjir 20 Januari 2014 Jam 12

Saya harus menulis ini hanya terdorong rasa khawatir yang beralasan dan iba bagi para pekerja kita. Mengapa saya menuliskannya sekarang akan jelas di dalam tulisan ini.

(Jadi para pendukung Joko Widodo-Basuki T. Purnama maupun Ridwan Kamil tidak perlu membully saya, karena ini bukan kritik yang khusus diarahkan kepada mereka, bukan pula untuk membela lawan politik mereka)

Fakta yang sudah diakui adalah bahwa tanah Jakarta dan Bandung terus menurun. Bahkan sudah ada data setidaknya untuk Jakarta, berupa peta kecepatan penurunan tersebut. Selain sifat geologisnya, seperti Bandung yang merupakan endapan dasar danau purba, sebab yang sudah dipastikan adalah penyedotan air tanah yang berlebihan (melebihi penyerapan air ke dalam tanah itu sendiri). Dan ini bukan unik masalah di Indonesia. Tokyo adalah kasus yang terkenal. Pusat kotanya mengalami penurunan dramatis juga hingga tahun 1950an, ketika berhasil dihentikan dengan penataan ruang, relokasi fungsi, pembatasan pembangunan, dan penyediaan air pipa yang mencukupi sehingga orang tidak lagi perlu menyedot air tanah.

Saya tidak punya data tentang siapa saja yang menyedot air tanah di Jakarta atau Bandung. Tapi, fakta bahwa air-pipa hanya tersedia bagi maksimum 60% penduduk di Jakarta layak mendorong kita bertanya-tanya: Darimana air diperoleh untuk bangunan-bangunan apartemen, perkantoran dan mall yang besar-besar itu, yang memerlukan jumlah besar terpercaya dengan tekanan tinggi pula?

Apa dampak menakutkan dari turunnya tanah yang terus menerus?

Yang paling mudah dibayangkan adalah terjadinya cekungan-cekungan baru secara tidak teratur, karena kecepatan penurunan yang berbeda-beda di setiap titik. Di Jakarta studi awal sudah dilakukan, telah menghasilkan peta, dan studi lanjutan yang lebih rinci masih berlangsung. Ini jasa Fauzi Bowo, yang memerintahkan studi menyeluruh dan mendalam tentang masalah banjir Jakarta, yang kemudian menjadi dasar bagi salah satu program yang sejak awal tahun lalu (?) sudah siap berjalan, yaitu pengerukan kanal dan saluran lainnya secara besar-besaran. Mengapa dia tidak lebih cepat melakukannya? Saya tidak tahu apa mungkin dipercepat, tetapi saya tahu betapa studinya sendiri sangat makan waktu, luas dan mendalam. Ia mencakup, misalnya, memindai hampir semua penampang memanjang kanal-kanal penting, sehingga diketahui bahwa kapasitas kanal-kanal itu telah turun hingga tersisa antara 60 sampai 40 % saja). Saya juga tahu bahwa dana yang diperoleh dari World Bank memerlukan perundingan yang sangat alot dan rumit, yang bahkan sempat membuat tegang hubungan antara World Bank dan Gubernur Fauzi Bowo. Ada kabar, misalnya, bahwa Fauzi Bowo sempat marah di hadapan Country Director World Bank, karena keterlambatan memberitahu tentang syarat-syarat relokasi penduduk, yang menjadi salah satu sebab keterlambatan perundingan. Ini juga kerjasama pertama antara World Bank dan Pemprov Jakarta sesudah masa yang lama, mungkin sekitar setidaknya 20 tahun.

Cekungan-cekungan ini berarti tempat baru untuk banjir.

Dampak kedua yang lebih meresahkan adalah rusaknya secara sistemik sistem saluran di bawah tanah. Penurunan tanah yang berbeda-beda di berbagai tempat akan menggagalkan sistem saluran, karena arah aliran air akan terganggu dan mungkin sekali berubah. Lebih gawat lagi, ada kemungkinan saluran-saluran patah atau bocor di berbagai tempat. Apa yang akan terlihat bila ini terjadi? Munculnya titik-titik genangan baru, bahkan di temapt-tempat yang relatif tinggi, dan sebelumnya tidak pernah mengalami genangan air, kecuali ketika sedang banjir besar menyeluruh.

Itulah yang saya khawatir sedang terjadi…Semoga saya salah, dan perlu penelitian segera untuk membantah atau menegaskannya dengan data.

Tanda-tanda yang terlihat sekarang: Banjir setempat-setempat makin sering terjadi. Banjir yang lumayan luas bukan lagi hanya 5 tahun atau 1 tahun sekali, tetapi setiap kali ada hujan yang cukup lebat. Pagi ini kita membaca kabar genangan air di sekitar Bunderan Air Mancur depan Patung Arjuna Wiwaha di sudut Medan Merdeka Barat/Selatan, Stasiun Jakarta Kota, Pulo Mas, dan beberapa tempat lain, padahal hujannya cuma sebentar, meskipun memang lebat sekali.  Alat pengukur curah hujan kita mencatat hujan tadi pagi di sekitar Monas adalah 124 mm/hg, yang masuk kategori sangat lebat (Data Curah Hujan makin penting kita ikut, seiring dengan data kawasan terdampak banjir).  Apa mungkin hanya sampah penyebab mampet-nya saluran di sekitar tempat-tempat ini?

(Karena Stasiun Jakarta Kota pagi ini tidak dapat dicapai, maka kereta api yang bertujuan ke sana terpaksa berhenti di, atau kembali ke, Stasiun Manggarai, sehingga mengakibatkannya penuh sekali dengan penumpang. Ada ujaran bahwa “Bahkan turun dari gerbong kereta sulit sekali karena begitu penuhnya peron.” Seorang rekan kerja tidak bisa berangkat dari Stasiun Bekasi, karena banyak gerbong yang kembali juga, sehingga stasiun ini juga penuh sekali.) 

Kalau perubahan arah aliran air dan bocornya saluran sedang terjadi, bisa dibayangkan betapa repot memperbaikinya. Wakil Gubernur Basuki T. Purnama mengatakan Jakarta tidak memiliki peta infrastruktur bawah tanah. Saya kira ini tidak sepenuhnya benar. Bagian-bagian kota yang sejak awal direncanakan dengan baik, seperti Menteng dan Kebayoran Baru, setidaknya, pasti memiliki peta saluran. Peta ini mungkin tidak terawat atau hilang karena, misalnya ada kabar banyak data dibawa oleh pejabat yang pindah bagian. Kalaupun mau dicari di arsip di Indonesia dan Belanda, sangat mungkin dapat ditemukan. Di seluruh Indonesia ada setidaknya 15 kota yang memiliki bagian yang dirancang dengan baik pada tahun 1920an, 1930an, dan 1940an: Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta, Darmo di Surabaya, kawasan sekitar Gedung Sate, Bandung, Kota Baru Yogyakarta, Kawasan Ijen di Malang, kawasan Rumah Sakit Elizabeth di Palembang, kawasan Sekolah Raja di Bukittinggi, kawasan Candi Baru, Mlaten dan lain-lain di Semarang, dan seterusnya. Selain itu, banyak perumahan-perumahan baru dari masa Orde Lama sekalipun, misalnya Tebet, Slipi dan lain-lain di Jakarta, dan sangat mungkin di kota-kota lain juga,  kemungkinan besar memiliki peta yang cukup masuk akal tentang sistem saluran masing-masing.

Selain itu Kementerian PU sebenarnya punya gudang arsip yang belum sepenuhnya diketahui apa isinya. Bagaimana dengan arsip Jakarta sendiri? Saya juga mendengar adanya arsip pribadi beberapa (mantan) pejabat yang masih tersimpan baik.

Bagaimanapun keadaannya, saya hanya mau mengtatakan: peta itu HARUS diadakan. Dan dasarnya, meskipun serba sedikit, sangat mungkin ada, setidaknya yang disebutkan di atas itu.  Bila semuanya dengan teknologi sekarang dijahit bersama, mungkin keadaan tidak seburuk yang kita kira.

Pekerjaan-pekerjaan itulah yang saya harapkan dilakukan oleh para walikota (dan gubernur), selain melakukan festival di sana sini. Kota-kota Indonesia telah mewarisi kerusakan yang parah, dengan sedikit sekali upaya-upaya yang menyeluruh, termasuk melakukan pekerjaan rumah berupa data-data dasar yang terstruktur yang terbarui.  Fauzi Bowo, tanpa perlu dibela, dan terlepas dari kelemahan (atau kesalan)nya, melakukan persiapan yang sangat bermanfaat dalam hal penanagan banjir dan pembangunan MRT yang kini kita warisi bersama, meskipun sempat tertunda sebentar untuk menjawab berbagai kekhawatiran Gubernur Baru, Pak Joko Widodo di awal masa jabatannya, dan mungkin sekali membuat keduanya menjadi lebih mantap dimulai sekarang.

Saya bukan tidak tahu, bahwa sejak tahun 1990an, dan memuncak di tahun 2000an, ada pendekatan yang bersifat ad-hocism dan event-ism dalam pengelolaan kota. Timesquare ditutup untuk kendaraan misalnya. Festival diadakan, agar masyarakat dapat merasakan dan bersemangat kembali merasa memiliki ruang kotanya. Ini bukan pendekatan aseli para politisi, termasuk walikota Bloomberg, apalagi yang di Indonesia! Para seniman dan budayawan sudah lama melakukan pendekatan menghidupkan ruang publik menjadi ruang bersama, dan dengan sendirinya berarti menghidupkan komunitas di sekitarnya. Ini gejala di seluruh dunia sejak tahun 1980an, atau bahkan lebih awal di beberapa tempat. Ini berguna karena dapat dilakukan tanpa harus mengubah peraturan yang prosesnya pasti merepotkan. Dan atas dasar ini, dukungan masyarakat dapat diraup dengan mudah dan cepat, terutama dari kelas menengah yang sedang tumbuh pesat. Tapi dukungan ini untuk apa?

Saya berharap dukungan itu bukan untuk dinikmati membesarkan ego dan “feeling good” siapapun, dan bukan hanya untuk menaikkan popularitas dan panggung untuk mengejar kedudukan yang lebih tinggi semata, sebab ada hal yang lebih penting lagi.

Yang penting itu adalah: melancarkan program-program yang lebih mendasar bagi perubahan kota-kota menuju ke kelestarian ekologis, agar kota-kota menjadi ekologis, bukan semata sebagai suatu tindakan penyintasan, tetapi sebagai suatu tindakan meninggikan tingkat kehidupan kita. Saya berharap para politisi, walikota atau gubernur, tidak latah meniru pendekatan ad-hoc-ism dan event-ism ini hanya demi kegiatan sesaat dan, lebih-lebih, melupakan tugas lebih mendasar memperbaiki hal-hal sistemik kota.

Maka blog “Bandung City of Pigs” adalah salah satu peringatan saja akan harapan tentang pengelolaan kota akan hal-hal yang lebih esensial untuk semua orang, yang salah satunya adalah persoalan sampah. Jakarta yang baru saja membeli truk-truk sampah baru menunjukkan pula belum ada perubahan mendasar dalam pendekatannya: masih kumpul-angkut-buang; bukannya memajukan pengurangan dan pemilahan serta pengelolaan pada tinggat serendah mungkin, yaitu rumah-tangga dan lingkungan ketetanggaan. Banjir adalah soal lain lagi. Dan dalam hal inipun nampak belum ada perubahan mendasar. Sudah sangat baik ada prakarsa para gubernur dan menteri malakukan pertemuan koordinasi penanganan banjir di JABODETABEK. Tapi hasilnya harus lebih mengarah kepada pendekatan konservasi air sebagai solusi yang langgeng dan lestari, dengan program yang masif dan teratur, bukan sekedar menghasilkan pembangunan infrastruktur (waduk) semata.

Kembali ke bahaya penurunan tanah di Jakarta dan kota-kota lain, apa yang harus dilakukan sebenarnya sangat jelas: hentikan penyedotan air tanah dengan mengaitkannya dengan progran penyediaan air-pipa yang besar-besaran. Untuk itupun diperlukan jaminan agar air baku mencukupi, dan itu pun berarti menuntut hal di atas pula: konservasi air di hulu (dan tentu saja di hilir juga, untuk tujuan lain).

(Di kawasan hilir, yaitu di dalam Kota Jakarta sendiri, ada kemungkinan mengubah ruang-ruang terbuka publik sebanyak-banyaknya menjadi ruang terbuka biru, kolam resapan yang masing-masing berukuran sedang. Misalnya kolong-kolong jalan layang, tol maupun non-tol di Grogol, Slipi, Jalan Lingkar, dan lain-lain. Kolong-kolong ini dapat digali jadi kolam lumayan besar. Lalu dasarnya dihubungkan dengan pipa pipa hingga ke lapisan pasir, karena penyerapan air hanya efektif kalau mencapai lapisan pasir, bukan lempung.  Selain itu halaman-halaman bangunan umum dapat dijadikan kolam sebagian. Dulu, dalam kegiatan Imagining Jakarta, saya sendiri pernah membayangkan sebagian Lapangan Monas menjadi kolam penampungan air yang serius.)

DSC05079

Bila dilihat sebagai bagian dari penanganan banjir, atau lebih luas lagi, penanganan masalah air keseluruhan, nampaknya diperlukan pula pendekatan institusional. Sebab, diperlukan tindakan konsisten dan persisten yang terus menerus dalam suatu program yang menyeluruh, terukur, dengan wewenang yang cukup besar, dalam jangka waktu yang sangat mungkin melewati satu atau dua masa jabatan seorang gubernur. Politik claim  akhir-akhir ini, misalnya, tentang siapa yang lebih berjasa menangani banjir di Jakarta, menurut hemat saya sungguh tidak perlu, tidak produktif, dan tidak dewasa. Pemimpin yang baik seharusnya mengakui batu-batu pijakan yang telah diletakkan pendahulunya, memanfaatkannya dengan baik, melanjutkan, dan memberikan pijakan yang lebih kuat untuk yang berikutnya.

Sebab, pada akhirnya, yang membangun tiap-tiap kota ini kita semua, secara kolektif dalam ruang dan waktu.

This entry was posted in governance, Jakarta, Nature and Environment, Urban Development, Urban Life, Urban Planning and tagged , , , . Bookmark the permalink.

10 Responses to Sejauh Apa Bahaya Penurunan Tanah (land subsidence) Jakarta dan Kota-kota Lain?

  1. Edi says:

    Kepada Bapak Marco Kusumawijaya, salam kenal saya Putu Edi Yastika.
    Tema tulisan yang Bapak angkat sangat menarik. Saya juga sedang research tentang land displacement dalam hal ini land subsidence dengan menggunakan metode penginderaan jauh.
    Apakah bapak punya data penurunan tanah yang diukur secara langsung atau dengan GPS untuk kota-kota di Indonesia?

    Like

  2. unggulcenter says:

    Sekedar menginformasikan, maaf kalau saya yang alah, untuk Palembang, itu Rumah Sakit Charitas bukan Elizabeth. Seumur hidup saya tinggal di Kota ini hingga merantau setelah 17 tahun, baru tahu kalau ada RS bernama Elizabeth di Palembang. Charitas lebih masuk akal.

    Like

  3. Joe Fernandez says:

    Kata kunci dalam tulisan Bung Marco adalah “Perubahan Mendasar” ini sangat penting. Perubahan mendasar dalam tata kota, tata guna lahan dan tata air menjadi suatu keharusan bila Jakarta dan kota-kota lain mau tetap bertahan lebih lama dari “kehancuran masif”. Jakarta dan beberapa kota lain lahir karena adanya aliran air (Sungai) jadi kita sebenarnya adalah “komunitas air”. Sayangnya kita lupa dan lebih memperhatikan “ruang” yang terkait dengan lahan ketimbang “ruang” yang berkaitan dengan air. Penurunan permukaan tanah menjadi bencana besar karena akan ada korban, semoga saja tidak, dengan runtuhnya bangunan-bangunan tinggi pencakar langit di kota-kota besar. Mungkin kita belum pernah mendengar itu, tetapi dugaan saya akan ada tragedi itu bila kita tidak pernah mengantisipasi fenomena alam “pembenaman lahan” (land subsidence). Suatu kajian mendasar tentang bagaimana air hujan mengalir dan menggenangi kawasan perkotaan menjadi hal yang perlu dan harus dilakukan dalam waktu dekat.
    Saya suka Bung Marco sudah menyinggung soal adhocism dan eventism yang selalu menarik utk jadi bahan mendongkrak popularitas politik tetapi tidak mengubah gaya hidup dan pola laku manusia perkotaan di Indonesia. Kegemaran kita untuk membuat “acara yang seolah-olah” ramah lingkungan dan mengkonservasi alam ternyata tak menjadi gaya hidup kita untuk jangka panjang. Sekali lagi terima kasih telah diingatkan untuk menggali kembali berbagai peta tentang tata air yang ada diperpusataan Kementerian PU, perpustakaan nasional dan perpusatakaan lain serta dokumen yang “disembunyikan” oleh para pejabat yang pernah berkuasa dan berwenang untuk mengatur tata guna lahan dan air. Semoga kita lebih sadar akan bahaya lingkungan terutama di perkotaan yang bisa membawa korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.

    Like

  4. Penyelesaian dari hulu ke hilir baik sekali, pastinya bisa dimulai saja dulu dengan benar dan dilakukan dengan konsisten goalnya Jakarta bebas banjir…..Bismillah

    Like

  5. ahmedtsar says:

    Membaca tulisan ini lalu membayangkan Jakarta mengikuti langkah2 strategis di tulisan ini, benar2 diperlukan suatu tindakan yang amat besar, baik dari segi jumlah, institusi, data, manajemen maupun kerjasama. Pertanyaannya bisa kah? Kata kuncinya bisa jadi adalah koordinasi yang memang sudah rahasia umum, compang camping di sana sini.

    Like

    • Koordinasi kita lemah karena kurang sikap rasional/ilmiah. Data yang akurat, visi yang jelas, analisis yang tajam, bisa membantu kordinasi. Seringkali kita hubungkan kelemahan koordinasi ke soal sosial-budaya; entah benar entah tidak sulit dibuktikan, tapi yang jelas dengan hal-hal saya sebut di atas, apa yang harus dilakukan oleh siapa lebih mudah ditentukan…(ini berarti mempermudah korrdinasi)

      Like

Leave a comment